30 November 2006

Antara Membaca dan Menulis

Dengan membuka blog ini berarti anda melakukan aktivitas membaca lebih dari sekedar kewajiban, tentu saja karena tidak ada yang mewajibkan anda membaca blog ini. Dengan demikian anda mungkin sama dengan saya yang menganggap bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan bagi jiwa.Membaca pulalah yang menjadikan manusia masuk ke dalam golongan beradab. Bangsa-bangsa besar masa lampau seperti Cina, India, atau Mesir, dianggap sebagai pusat kebudayaan karena kemampuan mereka dalam hal membukukan catatan tentang keberadaan mereka. Pun tidak ketinggalan bangsa Arab yang mengalami kemajuan besar-besaran sejak turunnya ayat Al-Quran yang diawali dengan kata "Iqra" yang berarti "Bacalah".

Sedemikian hebatnya pengaruh kegiatan membaca dalam peradaban manusia. Namun perlu diingat bahwa membaca adalah sebuah akibat, akibat dari apa?, tentu saja akibat dari menulis. Menulislah yang menjadi awal dari kegiatan membaca, entah siapapun yang menulis,pasti kemudian tulisan itu akan dibaca, setidaknya oleh si penulisnya sendiri. Menulis seharusnya juga berada pada posisi yang sama dengan membaca, sayangnya budaya menulis itu sendiri masih kalah dengan budaya membaca. Masih banyak orang yang menulis karena keterpaksaan, karena keadaan, karena tugas, atau alasan-alasan lain. Bahkan bagi sebagian besar orang menulis juga merupakan sebuah kegiatan yang menyulitkan, sehingga buku tentang cara menulis masih terus beredar di pasaran. Bandingkan dengan buku "Membaca itu Mudah" misalnya ^_^

Saya seringkali mendengar keluhan teman-teman yang merasa kesulitan ketika mendapat tugas mengarang, mulai dari zaman Sekolah Dasar hingga saat tidak lagi bersekolah (kuliah maksudnya). Saya sendiripun pernah mengalami saat-saat dimana menulis menjadi sebuah kegiatan yang begitu menyusahkan, hal ini bukan melulu disebabkan karena tidak ada hal yang bisa dituangkan dalam bentuk tulisan, tapi juga karena kebingungan dalam memilih kata untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikiran.

Padahal menulis nggak cuma berfungsi sebagai sesuatu yang khusus atau spesial sehingga hanya perlu dilakukan untuk hal tertentu, menulis juga tidak bersifat esklusif sehingga hanya orang tertentu yang boleh menulis. Menulis boleh dan sebaiknya dilakukan oleh semua orang yang bisa dan mampu menulis.


--------Menulis apa?-----------


Menulis apa saja, apa yang anda alami, apa yang anda rasakan, anda lihat, APA SAJA!. Masih bingung untuk memulai?, mulailah dengan bertanya, terus bertanya, perbanyak pertanyaan anda. Setelah mendapat cukup banyak pertanyaan mulailah untuk menjawabnya.
Ehm... anda mungkin beranggapan bahwa ini sedikit membingungkan, kenapa mesti bertanya jika kita harus menjawabnya sendiri? Itulah yang disebut ber-'kontemplasi'.
Sebuah kegiatan untuk bertanya dan berdialog dengan diri kita sendiri, untuk mencari jawaban dari dalam diri kita sendiri. Berkontemplasi ini bukan hanya berguna dalam menulis fiksi atau hal-hal yang bersifat filosofis saja, berkontemplasi juga berguna untuk menggali ingatan-ingatan kita.

Setelah anda mulai menulis biasanya akan muncul pertanyaan "Untuk apa menulis?". Fungsi utama dari menulis adalah membukukan ide atau gagasan anda. Dan kalau anda masih nekat bertanya "Untuk apa dibukukan?" maka saya akan menjawab; Agar tidak lupa, agar ada catatan atau bukti tertulis tentang ide atau gagasan anda, agar ide atau gagasan anda bisa disampaikan kepada orang lain dengan lebih mudah, agar...,agar..., dan masih banyak lagi. Coba anda rasakan ketika anda sudah mulai lancar menulis, maksud saya lancar menuangkan pikiran anda dalam bentuk tulisan, kegiatan ini menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan dan tidak lagi membosankan. Menulis bukan hanya membantu anda menyalurkan ide-ide anda, menulis juga membuat anda lebih mudah berkomunikasi, lebih santai, lebih fresh dan jutaan manfaat lainnya.

Jadi kenapa tidak mulai menulis? Ada banyak media untuk menulis buku harian, jurnal, blog, atau bahkan dibukukan untuk kemudian disebarluaskan, silahkan saja ^_^


"Yang bisa, lakukanlah
Yang tidak bisa melakukan, ajarkanlah
Yang tidak bisa mengajar, dirikanlah sekolah
Yang tidak bisa mendirikan sekolah, menulislah"


"Menulis, untuk anak cucu kita"

24 November 2006

Hujan, air, dan mandi

Posting kali ini ditulis pada saat bulan November sudah hampir berakhir, sepekan lagi bulan Desember. Seharusnya, ehm maksud saya biasanya, bulan ini sudah termasuk dalam siklus musim penghujan. Dan meskipun saya sudah lupa angin muson mana yang bertiup kali ini, saya tetap merasa bahwa di Indonesia kita ini, lebih tepatnya lagi di Bandung, seharusnya sudah dihujani oleh butir-butir air pada hari-hari seperti ini. Beberapa waktu lalu memang sempat turun hujan, tapi itupun hanya sekali dua kali.

Keadaan cuaca yang cukup panas dan kering ini masih ditambah dengan matinya air kamar mandi di kost ugghhhh.....!!! sebagai akibatnya saya dan juga beberapa penghuni kost yang lain harus turun lebih jauh lagi demi mendapatkan air. Berhubung lokasi kamar saya yang berada pada tingkat 0 dan kamar mandi yang berada pada tingkat -3 (Minus tiga) maka kegiatan mandi menjadi sangat tidak efektif, bagaimana tidak, bila setiap kali selesai mandi saya berkeringat lagi. Berdasarkan keterangan ibu kost air di kamar mandi atas mati karena pompanya tidak dapat menyedot air lagi meskipun kedalamannya telah ditambah. Tentu saja terlepas dari keharusan ibu kost untuk bertanggung jawab tentang masalah kamar mandi ini (menggunakan air PAM misalnya) kondisi ini memang bukan sebuah masalah yang sepele.

Berdasarkan sebuah berita di Kompas yang menyebutkan bahwa lahan serapan di kota Bandung tinggal 12% dari jumlah seharusnya yang sebesar 50%, maka kekurangan cadangan air tanah di kota Bandung adalah hal yang wajar. Air yang mampir ke bumi setelah dijatuhkan oleh awan akan diserap oleh tanah, dan daerah yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan menahan air didalamnya inilah yang disebut lahan serapan. Supaya dapat menjadi lahan serapan yang baik maka lahan tersebut harus dapat menyerap. Duh...~_~; Ehmmm maksudnya air harus dapat masuk ke bagian dalam tanah, hal ini dapat terjadi dengan baik apabila tanah tersebut tidak tertutup aspal atau beton, dan lebih baik lagi bila ditumbuhi pepohonan.

Pohon memang sebuah bagian yang tak terpisahkan dari manusia, bahkan Adam dan Hawa harus turun ke bumi karena mencicipi buah dari pohon khuldi, bahkan hingga kini beberapa pohon masih seringkali dianggap keramat. Pohon bukan hanya memberikan manfaat dari 'tubuhnya' secara langsung tapi juga manfaat-manfaat yang seringkali kita lupakan seperti, pengolahan polusi udara, penyerapan dan penyimpanan air, dan masih banyak lagi.

Sayangnya di Bandung pohon masih kalah pamor dengan Factory Outlet, pabrik-pabrik O2 ini ditebangi demi perluasan jalan, pembangunan mall, tempat parkir, gedung-gedung, dan aneka fasilitas penunjangnya. Belum lagi dikawasan bandung utara yang seharusnya menjadi kawasan cadangan air untuk kota Bandung pembantaian pohon-pohon masih saja marak. Entah karena lupa, malas, atau memang tidak adanya kesadaran, hampir tidak ada kegiatan penggantian atas pepohonan yang ditebang. Dan meskipun ada beberapa ruang hijau di kota ini, fungsinya nggak lebih dari sebuah taman.


Jadi daripada sekedar berkeluh kesah dan menyalahkan, ini waktunya ambil tindakan sudah cukup gerakan sejuta bunga, ganti dengan "Gerakan Sejuta Pohon". Mulai sekarang juga tanam pohon sekecil apapun, lebih dianjurkan lagi kalau pohon produktif, maksudnya memberi hasil seperti, mangga, rambutan, jambu dll. Dan kegiatan ini akan saya awali dengan pohon yang produktif, murah dan mudah didapat, gampang perawatannya dan praktis, pohon.....Tauge, eh pohon bukan yah? ~_~;

16 November 2006

Indonesia Asli

udah liat iklan Hexos yang adegannya ada cewe nanya "aslinya mana mas?" trus si cowok dengan ekspresi ala kadarnya ngejawab "Teghal" ^_^ Saya sih bukannya mau mengomentari iklannya, tapi saya kepengen ngebahas soal pertanyaannya. Seringkali ketika kita berkenalan kita bertanya "Aslinya mana.....?" tentu saja maksudnya adalah menanyakan daerah asal atau kampung halaman dari orang yang kita ajak bicara. Tentu saja ini adalah hal yang bisa dianggap wajar, tapi bolehlah sekali waktu kita memprotes kewajaran ini.

Masalah bisa muncul ketika orang yang kita tanya ternyata tidak jelas asalnya, eh maaf maksud saya daerah asalnya yang kurang jelas. Sebagai contoh sebut saja si X (bukan nama sebenarnya), anak dari seorang ibu asal Pasuruan (bukan ibu sebenarnya) dan ayah asal Palembang (juga bukan ayah sebenarnya) dan lahir di Semarang (bukan kota sebenarnya), kemudian pada waktu berumur 3 bulan (bukan bulan sebenarnya) dia pindah ke Kalimantan barat (bukan...eh) nah ketika ia berumur 27tahun ketika ada orang yang bertanya "Aslinya mana....?" Lantas jawaban apa yang akan diberikannya?.

Apakah setiap kali mendapat pertanyaan seperti ini dia harus menjelaskan kerumitan asal-usulnya? ~_~; Atau kalau yang tanya nekat ngasih pertanyaan begini "ehm...jadi sebenernya anda asli mana?"


Nah jadi mari kita membicarakan soal asli yang satu lagi.


Istilah Indonesia asli atawa pribumi sempat menjadi sesuatu yang populer di negeri ini, menurut pengertian umum istilah diatas berarti orang-orang yang merupakan keturunan asli dari suku-suku yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Batak, Bali, Papua, dll, dst. Dan orang-orang yang tidak termasuk ini adalah keturunan China atau Eropa, Afrika, Dsb...

Nah! apakah hal diatas sudah benar? yang saya maksudkan bukan soal pembedaannya, tapi apakah benar yang namanya Indonesia Asli itu ada?, bukankah Indonesia sendiri tidak asli, bukankah Indonesia berdiri diatas dan terdiri dari berbagai suku, budaya, dan jutaan perbedaan lainnya. Jadi Indonesia itu sendiri tidak asli, sebab ia merupakan campuran dari berbagai unsur.



Jadi, asli manakah anda?

Budaya Kekerasan

Dulu mungkin anda, seperti saya juga, diajarkan bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang ramah, bangsa yang gemar menolong, dan saya (pada waktu itu) memang merasa demikian. Saya merasa bangga hidup di sebuah negara yang penduduknya begitu ramah, gemar menolong dan suka tersenyum. Entah karena saya yang belum cukup dewasa dan belum cukup pandai untuk memahami bahwa itu bukanlah wajah yang sebenarnya dari bangsa ini.

Bertahun kemudian saya mengetahui bahwa bangsa ini juga sama seperti bangsa yang lain, terdiri dari manusia yang beraneka ragam. Dan seperti juga semua manusia biasa pada umumnya, bisa tersenyum, bisa gembira, dan bisa juga marah atau bahkan mengamuk. Amuk massa, sebuah istilah yang akhir-akhir ini jadi kerap muncul, sebuah istilah yang menggambarkan keadaan dimana massa dalam keadaan marah dan melakukan tindakan yang bersifat kekerasan atau meluapkan kemarahan. Kekerasan memang bukan hal baru dalam kehidupan kita, dia cuma berubah wujud. Kekerasan sudah ada bahkan sejak jaman nabi Adam, dan terus ada hingga ke anak cucunya yang berjumlah milyaran ini.

Lantas mengapa bangsa kita ini dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah dan baik hati?

Apakah karena bangsa ini pernah merelakan diri dijajah ratusan tahun? ataukah karena kita ini memang bangsa yang cuma bisa tersenyum dan manggut-manggut mengiyakan? semoga bukan begitu. Bila kita merujuk arti kata 'budaya' sebagai sebuah hasil karya cipta rasa dan karsa manusia, maka kekerasan adalah juga sebuah budaya. Lantas sejak kapan bangsa ini mengenal budaya kekerasan?

Sejak dulu kala!, sejak zaman kerajaan-kerajaan yang bertebaran di sekujur Nusantara, kita sudah mengenal kekerasan. pembantaian, perebutan kekuasaan, pengkhianatan, hingga ke perang besar-besaran menghiasi sejarah negeri kepulauan ini, dan tumbuh seiring dan saling mempengaruhi dengan kebudayaan lain seperti, seni, arsitektural, bahasa, dan budaya-budaya lainnya. Akulturasi yang terjadi bisa dilihat dalam tari yang menampilkan atau menggambarkan adegan perang/perkelahian, atau bisa juga dalam hal-hal seperti sabung ayam, adu jangkrik, dan hal-hal yang juga menyerempet kekerasan lainnya. Dan kadang kita memang menikmati kekerasan, entah sebagai penonton atau sebagai pelaku.

Tapi kita pernah dikenal sebagai negeri yang penduduknya sopan, ramah dan baik hati lho?! Pernah lho?!

Ya, pada masa orde baru kita memang dikenal seperti itu, tapi yang terjadi sebenarnya pada saat itu kita justru dididik untuk terbiasa dengan kekerasan. Sementara kita dininabobokan dengan kenyamanan, kekerasan berpusar disekeliling kita, semakin pekat dan akhirnya ketika orde baru berubah bentuk (ya, ordenya berubah, tapi toh keadaannya tetap) pusaran tadi menelan kita. Dan bangsa ini menjadi begitu terbiasa untuk meluapkan perasaannya (karena efek rasa bebas?) yang sayangnya justru seringkali negatif.

Dengan berbagai label kita berusaha mewajarkan sebuah tindak kekerasan, entah label agama, atas nama kelompok, atas nama rakyat, atau karena merasa sebagai korban, dan yang paling menyedihkan seringkali juga dengan membawa nama Tuhan atau demi kebenaran.

...dan kekerasan mungkin masih akan terus mewarnai kehidupan kita...




12 November 2006

Negara Tanpa Tentara

Pada waktu saya kembali ke Bandung setelah mudik lebaran beberapa waktu lalu saya menggunakan jasa kereta api. Dan seperti sudah menjadi sebuah kesepakatan bersama, berbagai kendaraan jarak dekat maupun jarak jauh menjadi penuh sesak oleh orang-orang yang terlibat dalam arus balik, begitupun kereta yang saya tumpangi. Penuh sesak, padat, rupanya PT Kereta Api selaku penyedia jasa selain menambah gerbong kereta juga memberlakukan kebijakasanaan pembelian tiket bebas tempat duduk ( mau duduk di lantai boleh, di toilet pun silahkan) pada jam keberangkatan, saya sendiri kurang tahu apakah ini kebijaksanaan ataukah pemanfaatan kesempatan. Di sinilah permasalahan mulai timbul, saya dan puluhan penumpang lain yang telah membeli tiket berhari-hari sebelumnya harus berhadapan dengan para tentara yang membeli tiket bebas tempat duduk. Saya sendiri tidak mengalami masalah berarti, karena ada petugas dari PT KA dan kepolisian yang membantu kami mendapatkan hak untuk duduk di tempat duduk yang telah saya pesan dan bayar tunai 30 hari sebelumnya.

Sementara itu ada banyak penumpang lain yang harus beradu mulut dengan para tentara tersebut, beberapa harus mau berbagi tempat. Para penumpang yang merasa bahwa duduk di tempat duduk sesuai dengan nomor karcis adalah hak mereka harus berhadapan dengan para tentara yang merasa bahwa dengan tiket bebas tempat duduk (bahkan banyak juga yang tidak menggunakan tiket) mereka dapat duduk di kursi manapun. Padahal tiket bebas tempat duduk adalah tiket tanpa nomor yang berarti mereka harus duduk di lantai, bordes atau dimanapun, karena seluruh kursi telah habis dipesan.

Disinilah ide dasar posting kali ini muncul, dalam perjalanan yang berlangsung selama kurang lebih 15 jam ini (telat begete ~_~;) muncul pikiran bila seandainya tidak ada tentara. Pada awalnya pikiran ini muncul karena kejengkelan saya pada mereka, para tentara yang ada di gerbong saya maksudnya. Setelah beberapa waktu di kost saya mencoba untuk mengembangkannya dengan tidak melulu berdasar pada emosi saya, dan sekaligus mencoba untuk bersikap lebih objektif, lebih luas, dan dengan asas praduga tak bersalah ^_^ (Presumption of innocent)

Apakah itu tentara

Tentara adalah bagian dari sebuah angkatan bersenjata, sedangkan angkatan bersenjata sendiri adalah "Satuan dan organisasi pertahanan dan penyerangan yang dibentuk oleh pemerintah dari negara tersebut. Angkatan bersenjata dibentuk untuk menegaskan kebijakan domestik dan luar negeri pemerintah.(dicuplik dari Wikipedia)" Jadi tentara sebagai bagian dari angkatan bersenjata adalah sebuah komponen manusia dari sebuah organisasi militer atau organisasi bersenjata.

Tentara mungkin sudah ada sejak manusia mengenal sebuah bentuk pemerintahan, mereka berfungsi mirip dengan tentara pada sistem kerajaan serangga. Kedalam mereka berfungsi defensif atau memberikan perlindungan kepada rakyat atas serangan yang datang dari luar. Keluar mereka berfungsi ofensif, bisa dengan tujuan membantu mendapatkan kebutuhan rakyat, baik dengan menguasai daerah baru, menyerang kelompok lain ataupun dengan cara-cara lain.

Seiring dengan perkembangan zaman, angkatan bersenjata menjadi sesuatu yang lebih kompleks, baik secara organisasi, fungsi maupun bentuk dan tehnologi. Yang akan saya bahas disini hanyalah mengenai fungsi, karena saya bukan pengamat militer maka soal organisasi, bentuk, dan tehnologi saya lewatkan. Secara fungsi angkatan bersenjata yang ada sekarang adalah sebuah bentuk kepanjangan tangan dari penguasa suatu negara. Kebijakan sebuah negara untuk menyerang negara lain, misalnya, tentu harus didukung oleh angkatan bersenjata. Harus, sebab tidak mungkin si pemimpin sendiri yang maju ke medan perang, gila apa @_@.

Jadi secara sepihak bisa saya simpulkan bahwa angkatan bersenjata merupakan salah satu pemicu perang. Meskipun bisa juga dikatakan bahwa angkatan bersenjata juga memiliki keuntungan dalam menyediakan perlindungan bagi penduduk suatu negara dari serangan yang berasal dari luar maupun kekacauan yang timbul didalam negeri, angkatan bersenjata juga bisa merusak masyarakat dengan terlibat dalam perang yang tidak bisa di menangkan, penekanan dalam negeri, atau dengan kata lain mendukung ide tentang kekerasan (atau ancaman yang bisa dilakukan) untuk mendapatkan sesuatu yang dimaui oleh orang atau kelompok tertentu. Pengeluaran yang berlebihan untuk mendukung kekuatan militer dapat membuat masyarakat sengsara karena kekurangan tenaga kerja dan bahan baku untuk kehidupan sehari-hari, memperburuk kehidupan sehari-hari penduduk sipil. Jika tetap berlanjut dalam jangka waktu yang panjang, akibatnya penurunan penelitian dan pembangunan dalam negeri, menurunkan kemampuan masyarakat untuk membangun fasilitas dasar yang banyak digunakan oleh masyarakat seperti sekolah, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya. Penurunan dan kekurangan dari pembangunan ini berdampak negatif bagi kekuatan militer. Soviet Union adalah contoh nyata di jaman modern ini untuk masalah tersebut.

Lantas bagaimana kita mengatasi serangan atau kekacauan yang ada, bila tidak ada angkatan bersenjata?

Jawabannya bisa beragam, tapi saya akan memberikan beberapa jawaban saya atas pertanyaan ini. Jika tidak ada angkatan bersenjata maka tehnologi persenjataan tidak akan terlalu berkembang, dengan keadaan seperti ini maka kemungkinan timbulnya kekacauan akan lebih minimal. Dan seandainya terjadi kekacauan maka ada beberapa alternatif dalam penyelesaiannya, misalnya dengan adanya 'transarmament' atau 'pertahanan berbasis pada penduduk sipil', jadi dengan pengalihan alokasi anggaran militer pada bidang kesejahteraan sosial selain akan memperkecil kemungkinan munculnya kekacauan juga meningkatakan kemampuan masyarakat untuk bereaksi terhadap adanya ancaman. Kalau perut kenyang, otak tenang kan masyarakat jadi nggak gampang tersulut api emosi ^_^. Tentunya juga dengan adanya perlakuan yang adil dalam hukum, hak dan kewajiban masyarakat maka akan lebih memperkecil lagi kemungkinan adanya kekacauan.

Kalau boleh saya meng-analogikan angkatan bersenjata dengan senjata itu sendiri, pada awalnya senjata berfungsi sebagai sebuah alat perlindungan (begitupun angkatan bersenjata), dalam perkembangannya, senjata menjadi alat untuk menyerang orang lain, menjadi alat untuk membenarkan kata-kata kita, alat untuk memaksakan ide kita, dan masih banyak lagi. Padahal menurut Gandhi, kekerasan adalah jalan orang yang hatinya lemah. Yup, saya setuju, ketika kita menggunakan kekerasan semata, menggunakan okol (kekuatan) yang tidak didasari dengan akal, maka sesungguhnya kitalah yang lemah.

Kita selalu berusaha menjadi lebih kuat, senjata baru, tehnik baru, menambah personil, dan segala macam cara kita lakukan untuk memperkuat diri. Apakah itu kita lakukan karena kita kuat? menurut saya tidak, kita melakukan itu karena kita merasa lemah, kita merasa takut menghadapi kekuatan yang lebih besar, yang seringkali bahkan hanya ada dalam mimpi kita. Dengan memiliki senjata atau kekuatan maka kita juga akan menjadi lebih mudah bertindak ngawur atawa sembrono, dengan mengutip dari Spiderman "With greater power comes greater responsibility" --kekuatan/kekuasaan yang lebihbesar membutuhkan tanggung jawab yang lebih besar-- nah lantas para pemilik kekuatan itu apakah sudah memiliki tanggung jawab sebesar kekuatan mereka? auh ah elap *_* (Pak Bush, para presiden pemilik nuklir, para polisi dan tentara pemilik senjata, para....., para......dst...)

Menjelang akhir posting saya ini, saya menjadi lebih tenang setelah menumpahkan segala uneg-uneg ini, saya sadar bahwa sebuah negara (atau dunia?) tanpa tentara adalah sebuah utopia.




---Mungkin cuma surga yang tak butuh tentara---

07 November 2006

Mengumpat atawa Misuh

Sepertinya dalam keseharian kita pasti pernah kesal atau bahkan marah, kadang karena ada hal yang terjadi tak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kadang ada seseorang yang bertingkah menyebalkan, dan masih ada seribu satu sebab yang lain. (Nggak usah dihitung beneran). Entah dijalan, dikantor, sekolah, kampus, pasar, atau dimanapun, kadang rasa kesal itu tiba-tiba nyelonong dihadapan kita. Dan bila itu terjadi maka bisa ada berbagai macam reaksi kita dalam menghadapinya, mulai dari marah-marah, mendiamkan, menangis mungkin, atau bisa juga mengumpat. Biasanya sih reaksi yang paling awal adalah mengumpat, kemudian marah-marah, dan selanjutnya terserah anda ^_^

Mengumpat biasanya sebuah kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan kata-kata kasar dan diucapkan dengan keras ataupun perlahan. Mengumpat seringkali menjadi sebuah reflek ketika sesuatu terjadi pada kita, terutama bila kejadian tersebut tidak menyenangkan. Entah umpatan tersebut ditujukan kepada orang lain, diri sendiri, makhluk lain (kecoa, tikus, dkk) atau bahkan pada benda-benda disekitar kita (kepada pintu yang telah menjepit jempol kaki kita mungkin ^_^).

Mengumpat jelas bukan sebuah kegiatan yang terpuji, maksud saya tidak anda yang memuji anda karena anda mengumpat kan?. Soal keburukannya jelas anda sudah cukup paham, mulai dari tidak sopan sampai soal buang-buang tenaga yang bahkan bisa memicu peperangan. Jadi disini saya ingin ngomong soal keuntungan dari mengumpat, tentu saja bukan sebagai sebuah pembelaan atau pembenaran atas tindakan ini, cuma sebuah cara pandang yang berbeda.

Secara fungsi mengumpat dapat menyalurkan kemarahan anda, hal ini juga dapat berfungsi mengurangi luapan emosi anda, maksudnya ialah dengan mengumpat maka anda bisa menunjukkan dan mengeluarkan kemarahan anda, meskipun (seringkali) ini adalah hal yang bodoh, karena justru akan memancing kemarahan yang lebih lanjut.

Selain soal memuaskan diri anda sendiri, mengumpat juga berfungsi untuk menunjukkan bahwa anda sedang marah atau kesal baik kepada orang yang bersangkutan maupun kepada orang disekitar anda. Tentu saja tujuannya adalah agar orang yang membuat anda kesal tahu bahwa dia telah melakukan sesuatu yang membuat anda marah, atau setidaknya anda bisa menunjukkan kepada orang disekitar anda bahwa telah ada seseorang yang membuat anda marah.

Mengumpat juga bisa berfungsi mengurangi rasa sakit, terutama bila rasa sakit itu datang karena kesalahan anda sendiri, kesetrum, kejepit pintu, dan berbagai hal-hal menyakitkan lainnya. Dapat mengurangi rasa sakit sebab pikiran anda menjadi tidak sepenuhnya terfokus pada rasa sakit tapi terbagi juga pada usaha untuk mengumpat.

Yahhh....sebenarnya masih banyak lagi alasan untuk mengumpat, tapi daripada nanti anda menganggap saya mencari pembenaran, mending udah aja ya...

Sebelum anda mengmpat mungkin sebaiknya anda ingat:

"Bahwa mengumpat lebih sering menambah masalah daripada menyelesaikannya"

06 November 2006

Kaya dan Miskin

Dengan berbagai alasan dan berbagai cara, (hampir) semua orang ingin kaya. Mulai dari sekedar kaya, cukup kaya bahkan hingga KUUUAAAYYYAAA RAAAYYYAAA (Maksudnya amat sangat kaya sekali). Menjadi kaya adalah sebuah kebutuhan yang muncul dari berbagai sebab, bisa karena tidak ingin miskin ataupun karena ingin mendapatkan apa yang kita inginkan dengan menjadikan kekayaan sebagai faktor pendukung utamanya.

---Menjadi miskin memang bukan sebuah aib, cuma saja ia tidak menyenangkan----

Maka kita semua berusaha lepas dari kemiskinan atau perasaan miskin dengan berbagai cara mulai dari bekerja keras, berdoa, mencari peluang baru, hingga melakukan korupsi, mencuri, manipulasi, dll,dsb etc...


Orang yang benar-benar miskin tidak punya jalan lain kecuali terus dan terus mencari uang (entah dengan cara apa), sementara yang (kaya) tapi merasa miskin juga terus memperkaya diri dengan cara apapun. Jadi jika sikap skeptis kita benar bahwa si kaya akan semakin kuayaa dan yang miskin akan semakin miskin, maka jelaslah bagi kita bahwa kemiskinan semakin mengerikan. Program pemerintah yang lebih banyak bersifat basa-basi dalam menghapuskan kemiskinan tergilas habis oleh kapitalisme yang terbungkus oleh kebijakan pemerintah sendiri. Mengenaskan!!!

Sesudah memporak porandakan desa, kemiskinan menginvasi kota, dari sudut-sudut gelap kota hingga ke setiap jengkal tanah kosong disekujur kota dihuni oleh para korban kemiskinan. Bahkan dengan kebberadaan mereka yang begitu dekat dengan kita, orang-orang masih bertanya apakah itu kemiskinan (Mungkin karena mereka tidak miskin ^_^). Dari berbagai seminar, dari berbagai pertemuan para ahli (yang jelas tidak miskin) dan aneka rupa tetek bengek lainnya, definisi kemiskinan masih belum juga jelas bagi mereka. Hal ini terbukti dari masih simpang siurnya penentuan kriteria miskin dalam penyaluran bantuan ataupun dalam hal pendataan oleh pemerintah.

Saya rasa kita semua setuju bahwa kemiskinan bukan sekedar tidak memiliki harta atau mempunyai lebih sedikit dari yang lainnya. Kemiskinan juga bukan sekedar masalah nasib, karena didunia ini kita tidak hanya menyadongkan tangan ke atas dan "diberi" kemudian menjadi yang "beruntung" sedang yang tidak diberi menjadi yang "tidak beruntung". Hidup adalah perjuangan, dan bukan sekedar "nrimo ing pandum" (menerima apa yang diberikan : Jawa), bukan sekedar menerima atau nrimo tapi mencari, berusaha, berjuang, dan bukankanh Tuhan juga mengijinkan kita untuk berdoa meminta kepada-Nya dan bukan sekedar menerima?.

Menjadi kaya juga bukan sekedar masalah untung-untungan, banyak unsur yang mempengaruhi mengapa seseorang, atau segolongan orang atau mayoritas penduduk negeri ini menjadi miskin atau tetap miskin. Maka kemudian para ahli-ahli ilmu pengetahuan yang tidak miskin lantas merumuskan pemahaman mengenai kemiskinan struktural.

Dan setelah masalahnya dirumuskan dengan meyakinkan , dibantu berbagai data, statistik, tabel dan lain-lain maka kita pun mulai melupakan kemiskinan, mungkin karena kita merasa telah berbuat sesuatu untuk kemiskinan. Padahal kemiskinan ini masih membaelit sendal jepit Pak Presiden, para menteri, anggota dewan yang terhormat, gubernur, walikota, bupati dan seterusnya, meskipun sebenarnya mereka ini hidup pada keadaan yang nyaris tak pernah tersentuh kemiskinan.

"Hanya orang miskin yang ingat pada kemiskinan" demikian kata orang bijak. Jadi adalah hal yang "wajar" jika para penggede negara ini lupa dengan kemiskinan, dan kalau orang kaya di masyarakat kita tidak peduli dengan orang miskin, ya mungkin itu memang sudah "kodrat kulturalnya".


<=======================^_^===========================>


Seringkali dalam promosi MLM atau hal-hal lain yang bersifat "dapat memberikan keuntungan dalam sekejap" sering dijanjikan adanyua kebebasan finansial, kebebasan yang dimaksudkan disini lebih ditekankan pada ketercukupan materi. Padahal ketercukupan materi bukanlah segalanya, sebab materi tak pernah membuat orang merasa cukup. Bahkan menurut Gandhi "Accumulation of wealth is accumulation of sin"


Lantas apakah kita tidak boleh kaya?


Boleh, bahkan kaya raya pun boleh, tapi jangan bersikap miskin karena dengan begitu kau jadi mengingkari berkah Tuhan, seolah-olah Tuhan tidak pernah memberkahimu sehingga menjadi kaya seperti itu. Tumpukan kekayaan menjadi kumpulan dosa karena jiwa miskin kita yang mengajak ingkar. Urusan kaya miskin adalah soal jiwa, sedangkan jiwa bukan hanya soal "rasa" tapi juga sikap, cara pandang, dan juga segenap tingkah laku yang kita refleksikan dalam hidup.


Jadi kebebasan bukan melulu soal finansial atau uang belaka, tapi lebih kepada soal jiwa. Karena itu dalam hidup saya ingin berjuang mencari 'kebebasan' agar tidak terjajah oleh kekayaan dan tak cemas akan ancaman kemiskinan. Tanpa kebebasan menjadi kaya tak ada artinya. Apalagi menjadi miskin.

Eh, omong-omong sampai saat ini saya masih belum merasa kaya, apakah karena saya miskin harta atu miskin jiwa ya?
Jawab hati saya "Masih keduanya, Mas"

02 November 2006

Maaf

Puasa berakhir, bukan dengan kemenangan diri
tapi dengan kesediaan berbagi.

Meminta maaf, bukan agar dosa dihapuskan
tapi karena dosa diakui.

Memberi maaf, bukan karena keluhuran budi
tapi karena kita terlalu fana untuk menghakimi

Di Idul Fitri ini, semoga kedaifan kita temukan kembali


Kata-kata diatas saya cuplik dari surat kabar Jawa Pos, kalau tidak salah penulisnya adalah Goenawan Muhammad. Yup, lebaran baru berlalu beberapa hari, masih banyak orang-orang yang saling bersalaman, masih banyak acara halal-bihalal diadakan, masih ada acara-acara silaturahmi, tapi apakah ini benar-benar sebuah acara saling maaf-memaafkan ataukah sekedar acara formalitas belaka tentu diluar pengetahuan saya.

Begitupun apa yang saya rasakan, seringkali buat saya acara salam-salaman, kegiatan saling mengucap mohon maaf lahir dan bathin, justru sekedar menjadi sebuah basa-basi belaka. Kadang hal itu terjadi karena baru saja kita saling bermaafan sudah ada kesalahan baru, baik salah ucap, ataupun ada tindakan yang membuat saya tersinggung kembali, atau bisa juga karena saya merasa ini hanyalah sebuah permohonan maaf satu arah. Maksudnya, saya minta maaf kepada seseorang sedangkan orang tersebut tidak meminta maaf pada saya, entah karena dia merasa tidak punya salah ataupun karena masalah senioritas.

Saya sadar bahwa memaafkan bukan sekedar ucapan, tapi saya masih sering merasa tidak ikhlas memaafkan seseorang. Masih sering mengingat kesalahan mereka yang telah lama berlalu, masih sering merasa marah kepada seseorang karena kesalahan yang telah berlalu. Dan saya juga merasa bahwa orang lain mungkin juga belum benar-benar memaafkan saya.




Maaf memang bukan cuma sekedar kata.