30 September 2009

Maaf Memaafkan

Nuansa-nuansa Lebaran masih terasa, di sekolah, kantor, di rumah dengan para tetangga, hari-hari ini masih dipenuhi suasana saling minta maaf dan memaafkan, saling bersalam-salaman. Masih banyak acara Halal bi halal digelar sebagai ajang saling bersilaturahmi dan bermaaf-maafan.

Sama seperti banyak kegiatan khas Ramadhan lainnya, acara silaturahmi dan bermaaf-maafan ini seringkali terjebak dalam sebuah klise (cliche : sesuatu yang menjadi kehilangan makna karena terlalu sering dilakukan/dipakai).

Maaf-memaafkan kadang berubah makna menjadi sebuah kegiatan rutin kultural yang tidak lebih dari ajang bertemu dan bersalam-salaman. Maaf menjadi sebuah produk lisan belaka tanpa melibatkan bathin. Ketika kita meminta maaf itu lebih dikarenakan sebuah kepantasan, dan ketika kita memaafkan itupun dilakukan lebih karena sebuah keharusan. Ah tapi sayapun terkadang masih seperti itu pada beberapa orang ^_^

Meminta maaf seharusnya diawali dengan kesadaran bahwa kita mengakui telah berbuat kesalahan dan berusaha memperbaikinya. Bila kita tetap tidak merasa bersalah maka permintaan maaf kita hanyalah tindakan sebatas kepantasan.

Begitu pula dengan memaafkan, sudah sepatutnya ketika kita berniat memaafkan orang lain maka tidak perlu lagi kita ungkit kesalahan-kesalahannya, tidak perlu lagi kita musuhi dia atas kesalahan yang telah kita maafkan.

Bukan hal yang mudah untuk memaafkan dan meminta maaf, terlebih lagi buat saya, ketika meminta maaf seringkali sulit bagi saya untuk mengakui kesalahan, merendahkan kepala dan meminta ampunan atas kesalahan yang saya perbuat. Pun saat harus memaafkan, terkadang begitu berat untuk melupakan luka yang pernah menggores dinding hati, menghapus dendam dan melupakan khilaf.

Oleh karena itu dikesempatan ini, dalam suasana bulan Syawal, ijinkanlah saya memohon maaf dan semoga saya bisa menghapuskan dan melupakan luka-luka lama yang masih tersimpan. Kepada orang-orang yang pernah saya lukakan, kepada orang-orang yang pernah begitu saya benci, saya mohon maaf.


Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri

10 September 2009

Menembus Batas Diri

Batas : 1 perhinggaan; 2 sempadan pemisah antara dua bidang, ruas, dan daerah; 3 ketentuan yg tidak boleh dilampaui.

Secara bahasa itulah artian dari batas, sebuah garis yang memisahkan dua hal. Akan tetapi bila ditinjau secara nilai "rasa" maka artinya bisa sangat berbeda bagi tiap-tiap orang. Lantas apa sih sebenarnya yang disebut "batas" itu? Apakah itu adalah sebuah garis akhir tempat kita menyerah? Ataukah suatu keadaan dimana kita harus mulai menyadari kemampuan diri?

Pertanyaan ini muncul ketika saya sedang berada dalam suatu proyek tambang di Halmahera, dan lebih tepatnya saat saya sedang terpikir-pikir ditengah sungai, ya, ditengah sungai, sebuah sungai kecil dengan batu besar di tengahnya. Pekerjaan kami pada proyek tersebut adalah pemetaan atau topografi jadi setiap hari kami menempuh setidaknya 3-5Km, dan pada awal perjalanan kami selalu harus mendaki sebuah tanjakan (kami beri nama "Tanjakan Selamat Pagi") sejauh 1 Km dengan kemiringan yang cukup menguras keringat, menghilangkan nafsu makan, dan menimbulkan haus yang amat sangat.

Itulah efek yang terjadi saat pertama kali mendaki tanjakan ini, dan entah berapa kali saya harus beristirahat sebelum mencapai ujung dari tanjakan ini. Selalu saja ada godaan untuk menyerah, untuk berhenti atau memilih kembali. Setelah berhari-hari menjalani 'menu' yang sama saya baru menyadari saya makin jarang berhenti di tengah tanjakan, bahkan akhirnya saya bisa melewati tanjakan ini tanpa harus beristirahat.

Lantas pada suatu sore di tengah sungai sepulang "tugas" saya mendinginkan kaki di tengah sungai dan mulai berpikir tentang batasan diri saya. Sesuatu yang awalnya terasa begitu berat bisa terlewati karena saya terus mencoba untuk menembus batasan diri saya. Ketika kaki saya sudah begitu lemas, ketika jantung saya seperti mau meledak, tapi saya tetap melangkah, dan saya mencapai akhir dari perjalanan saya.

Lantas kemana batas imajiner yang selama ini membatasi langkah saya? Ternyata itu semua cuma ada di otak saya. Ternyata tidak ada yang namanya batas, selalu ada langit di atas langit, yang paling tinggi belum cukup tinggi, masih bisa lebih jauh lagi, meski mungkin tidak hari ini.

Yeahh!!! Tampak bersemangat sekali kan? seakan-akan tidak ada yang bisa menghentikan saya, bahkan Tuhan. Ya, saya juga pernah seperti itu, mencoba melawan semua batasan, semua hal yang merintangi, dan semua nasehat, cibiran, tak ada artinya buat saya. Ketika saya memutuskan bahwa saya pasti bisa melampaui batas ini,1000% saya yakin bisa.

Saya terus berlari dan memaksa diri saya untuk menembus batas, tapi ternyata saya tidak mampu, jiwa saya menjerit kesakitan, tubuh saya memberontak. Saya masih terus memaksa mereka, hingga tetes terakhir dari semangat saya pun nyaris menguap. Merasa takut dikudeta oleh tubuh dan jiwa saya maka saya berdamai dengan mereka, saya duduk sejenak, menimbang rasa dan logika, dan saya memutuskan untuk menyerah.

Bukan karena saya kalah, bukan karena saya tidak mau berusaha, tapi mungkin bukan ini jalan saya.

Dari lembar-lembar kisah hidup yang sudah saya lewati ini, akhirnya saya menyadari, terlalu membatasi diri hanya akan membuat kita jadi kerdil dan lemah, tapi tidak mengenali batasan diri juga bisa membuat kita jadi pongah, takabur. Menempatkan batasan itu pada tempat yang tepat adalah kuncinya.