25 August 2006

Pulang

Aku tidak tahu lagi apa alasanku untuk pulang atau aku mungkin memang tidak pernah tahu alasanku untuk pulang. Entah, mungkin aku memang pulang bukan karena suatu alasan, tanpa sebab ataupun tujuan. Yang aku ingat cuma tiba-tiba aku mengemas barangku, mengepak baju, beberapa oleh-oleh untuk keluargaku, menaiki bis, setengah tidur dan melamun sepanjang perjalanan, dan kemudian tiba. Berjalan kaki sebentar, masuk rumah, meletakkan tas, mandi dan membaca koran. Lantas aku pulang untuk apa? Gola-gong pernah berkata " Lelaki memang harus pergi, tapi suatu saat dia pasti kembali". Ya, si Roy selalu kemabli, ke rumahnya, ke mamahnya dan kepada kehangatan yang selalu menyambutnya.

Bagi aku kebahagiaan bagi seseorang ketika pulang kerumah adalah pertanyaan keluarganya, sambutan mereka, senyum dan kehangatan mereka, dan sebuah perasaan bahwa inilah tempat ia mesti kembali. Kehangatan itulah yang akan menjadi obat terbaik dalam menghilangkan penat kita dan akan selalu mengundang kita untuk selalu pulang kembali.

Akan tetapi ketika kepulangan kita hanya menjadi sebuah hal yang jamak adanya, tidak istimewa, bahkan menjadi sebuah kewajiban, keharusan. Apakah pulang hanya seperti berak di pagi hari, sebuah rutinitas, sebuah kegiatan pengulangan, sebuah kewajiban bagi tubuh tapi tidak bagi jiwa?. Maka benar adanya kata pepatah bijak "Rumah yang dipenuhi cinta adalah tempat yang bisa kautinggalkan dengan kakimu tapi tidak dengan hatimu"

Pulang selalu menjadi sebuah penbatian yang panjang, saat-saat menuju kepulangan adalah masa dimana waktu menjadi begitu relatif. Waktu berubah menjadi pegas-pegas yang bisa menyusut dan memuai seiring gerak tubuh, waktu bukan lagi sesuatu yang pasti. Jiwa kita meluap-luap, meletup, seluruh gerak mekanis menjadi ritmis. Dan aku terus bergerak, pulang.

Hingga ketika aku tiba di depan rumah, angin dingin yang bertiup dari sela-slea gerbang rumahku membunuh api semangatku. Tubuhku kembali beku, seluruh jam biologisku kembali berdetak dalam satu waktu, konstan. Tubuhku terus bergerak, menemui keluargaku, membagi oleh-oleh, berbasa-basi, dan terus bergerak, bergerak, dan bergerak. Tapi tidak dengan jiwaku dia kembali terlelap, dalam tidurnya jiwaku bermimpi, dalam mimpinya dia bertanya "Untuk apa kita pulang?"

No comments:

Post a Comment