09 May 2009

Cinta Kedua

Cinta bukanlah sebuah obyek yang mudah untuk dibahas, dia punya berbagai bentuk atawa istilah kerennya multidimensi, dia juga punya berbagai parameter yang membuatnya bersifat sangat relatif tegantung pada sudut pandang setiap orang. Pada posting kali ini saya bukan ingin menggurui tentang cinta, saya juga bukan merasa lebih berpengalaman dalam bercinta, saya cuma memberanikan diri untuk berbagi, tentang rasa cinta saya, yang tentunya berdasar pada pendapat pribadi yang sangat subyektif. Sama sekali tidak ada paksaan untuk meneladani, meniru, ataupun untuk menyetujui, anda bebas menertawakan, mencibir atau bahkan tidak mengacuhkannya sama sekali. Jadi beginilah kisahnya...

Dia, atau sebut saja cinta pertama, saya mengenalnya sejak saya masih sekolah dasar, sekedar memandang atau sekali waktu bermain bersama, tak lebih. Menjelang akhir masa-masa sekolah dasar saya menjadi lebih dekat dengannya, mulai mencoba berakrab-akrab dengannya. Pertengahan SMP kami jadi lebih sering melewatkan waktu bersama, meski seringkali hanya sekedar berkeliling kota di sore hari atau menghabiskan waktu bersama pada hari-hari libur.

Kelas 3 SMP, pada saat-saat menjelang kepergian ayah saya kami jadi makin sering bersama. Seringkali saat semua anggota keluarga saya sibuk mengurus berbagai keperluan perawatan ayah saya di rumah sakit, saya ditinggal sendirian di rumah, dan saya langsung meluncur bersamanya dan pulang saat sudah larut malam. Tidak perlulah anda bertanya apa yang saya lakukan bersamanya.

Setelah ayah saya meninggal kedekatan kami semakin tak terpisahkan, ada hubungan yang unik diantara kami berdua, kami menyadari posisi masing-masing tanpa harus ada pernyataan diantara kami berdua, buat kami kata-kata tak banyak bermakna. Dia tahu ketika saya ingin bersenang-senang bersamanya, dia tahu bahwa dia harus tetap diam saat saya marah dan melampiaskan egoisme saya, begitupun sebaliknya, meskipun saya sering kesal ketika dia tiba-tiba ngambek tanpa alasan yang jelas, ketika dia tidak bisa memenuhi keegoisan saya.

Masa SMA yang saya lewatkan bersamanya jelas sebuah kenangan manis, berpergian ke luar kota, terpanggang matahari bersama, basah kuyup dibawah siraman hujan bersama, ah terlalu banyak romantisme masa muda yang kami lewatkan bersama. Sesekali saya memang suka menertawakan atau menjadikan dia sebuah lelucon tapi saya selalu bangga akan dirinya. Terkadang memang, saya melirik yang lain, yang lebih cantik, yang lebih modis, tapi harus saya akui bahwa saya lebih bahagia bisa bersamanya (yah kecuali pada saat-saat tertentu dimana dia bisa benar-benar menyebalkan)

Saat saya mulai menjelang 17 tahun hubungan kami menjadi semakin dekat, kemana-mana bersama, bertemu teman-teman saya, berjalan-jalan sore bersama, bahkan saat-saat saya sibuk dengan tugas sekolah dan ekskul. Ketika saya berpergian tanpa bersamanya pasti ada saja yang menanyakan keberadaan dirinya. Bagi banyak orang di sekitar kami, dia tanpa saya jelas kurang lengkap dan begitu juga sebaliknya, setiap mereka mengingat saya pasti mereka juga ingat dia.

Ketika saya memutuskan untuk mengejar mimpi ke Bandung dia pun ikut serta, meski saya tahu itu berat bagi dia tapi saya tidak punya pilihan lain, saya sangat membutuhkannya. Bandung jelas buka tempat yang tepat buat dia, kesibukan saya yang membuat saya makin kurang perhatian, keegoisan saya yang membuat dia harus semakin memaksakan diri, dan akibatnya saya merasa dia jadi makin menyebalkan karena seringkali mengecewakan saya (Saya lupa bahwa sebenarnya sayalah yang terlalu memaksa dia).

Hingga akhirnya hari itu tiba juga. Meski tentu saja harus saya akui bahwa dia juga telah banyak berjasa menemani saya melewati masa-masa sulit tapi perpisahan itu tetap tak terelakkan. Semester 3, setelah meminta restu dari orang tua, saya memutuskan untuk berpisah. Saya mengantarkan dia pulang dengan kereta api, tanpa air mata, tanpa kecup perpisahan.

Bahkan hingga kini saya masih merasa bahwa dia begitu berarti, bahwa tanpa adanya dia saya mungkin tidak akan menjadi diri saya yang sekarang.

Tak lama berselang saya mendapatkan penggantinya, sebut saja cinta kedua (sesuai dengan judul posting kali ini). Saya tahu dia baik, tidak terlalu banyak menuntut, dan yang pasti dia juga bisa mengimbangi egoisme saya, pokoknya dia sudah memenuhi sebagian besar prasyarat ideal, tapi saya tetap tidak merasakan getaran itu. Hingga kini kami masih bersama, melewati beribu putaran jarum jam bersama, dia hampir selalu bisa menjawab harapan saya, saya senang bersamanya, tapi tetap saja rasa itu tidak ada.

Dulu saat saya bersama yang pertama saya merasakan getar itu, bahkan hingga kini saya masih merindukannya, merindukan romansa yang kami lewati bersama. Dengan yang kedua (yang sekarang) saya memang telah melewati banyak hal, jauh lebih banyak daripada dengan yang pertama, tapi getaran itu tetap terasa berbeda. Kadang saat kami terpisah saya pun akan merindukannya, tapi tetap saja itu bukan cinta saya rindu karena saya membutuhannya. Apakah bila nanti kami harus berpisah saya juga akan sedih seperti saat saya berpisah dengan yang pertama?



Saya dan dia yang kedua menyusuri seruas jalan di sore hari






Nggak boleh protes, sejak tadi kan saya ngobrol soal motor