28 June 2009

Menjadi kaya atau mati mencoba

Sebelum anda membaca posting ini, bacalah sepenggal kalimat ini, bila punya cukup waktu silahkan anda terpikir-pikir dahulu sebelum melanjutkan membaca.

What money can buy? A bed but not sleep, books but not knowledge, a clock but not time, food but not appetite, finery but not beauty, a house but not a home, medicine but not health, amusement but not happiness, sex but not love.



Begitu sering saya mendengar kata-kata semacam itu, bahkan dulu saya pun berpikir begitu, bahwa uang tak bisa membeli segalanya, bahwa banyak hal di dunia ini yang tak bisa dibeli dengan uang. Betulkah?
Sayangnya tidak sepenuhnya benar, hampir semua hal bisa dibeli dengan uang, sebut saja, bumi dan seisinya? manusia? harga diri? cinta? ya semuanya bisa dibeli, bahkan juga Tuhan.

Tanpa uang kita pasti akan kesusahan, kita tidak bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar kita, kita tidak bisa memenuhi keinginan kita. Maka kita mencari dan mengumpulkan uang, lebih banyak lagi, lebih banyak lagi. Semakin banyak uang yang kita kumpulkan, semakin banyak yang kita butuhkan, dan semakin banyak pula yang kita inginkan. Semakin jauh kita mencari semakin lupa kita dengan alasan awal kenapa kita mencari. Untuk mendapatkan uang kita memerlukan modal, tak cukup hanya tenaga dan pikiran yang kita jual, waktu, idealisme, gengsi dan harga diri, bahkan Tuhan dan keyakinan kita.

Saya tidak menganggap itu hal yang salah, itu wajar saja, sebab saya setuju bahwa selalu ada harga yang harus dibayar untuk sesuatu. Dalam hidup memang tak ada yang gratis, kita memberikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Yang menjadi pertimbangan adalah apakah yang kita berikan itu sesuai dengan apa yang akan kita dapatkan, apakah terlalu mahal ataukah terlalu murah, semuanya kitalah yang menentukan. Dengan menjadi kaya maka semua hal akan menjadi lebih murah dan lebih mudah.

Yah semoga saya bisa menjadi lebih kaya, sebab masih banyak mimpi yang belum terbeli, masih banyak tuntutan yang belum terpenuhi, masih banyak janji yang belum ditepati. Dan biarlah saya menjadi kaya atau mati mencoba.


`Posting ini ditulis sambil mendengarkan "Can't Buy Me Love- Jazz Ver."


20 June 2009

Aku malas bilang kamu cantik

Aku malas bilang kamu cantik.
Aku malas dan nggak peduli.
Buatku kamu selalu jadi yang tercantik,
dan akan tetap begitu, bahkan bila tak kukatakan.

Aku nggak suka saat kamu bertanya tentang cantiknya dirimu,
pentingkah itu?

Aku jatuh cinta padamu bukan karena kamu cantik
Aku bahagia bersamamu bukan karena kamu cantik
Aku memilih untuk menyerahkan hatiku padamu,
juga bukan karena kamu cantik

Kamu tahu bahwa aku lebih tertarik dengan ide-idemu
Dengan pendapat dan isi kepala yang dituangkan dari bibirmu
Kamu tahu aku lebih sering terpesona karena apa yang kamu pikirkan
bukan apa yang kamu kenakan,
bukan bagaimana model rambutmu,
bukan anting di telingamu,


Tapi kamu pasti juga tahu, bahwa tak banyak wanita yang kubilang cantik
Karena aku sering kecewa akan cantiknya rupa dan lebih memilih cantiknya jiwa
Dan aku telah terpesona olehmu
Dan aku telah memilihmu

Lantas kenapa selalu kautanyakan
"Aku cantik ga?"




NB:................masihkah kaucari pengakuan itu?

07 June 2009

Kematian itu seharusnya membebaskan

Suatu pagi, beberapa waktu yang lalu. Sebuah pesan singkat masuk ke telepon saya, seorang kawan meninggal dunia, menurut si pengirim kawan saya ini meninggal karena sakit. Selang beberapa hari senuah pesan singkat yang lain masuk, ibu dari seorang teman, meninggal dunia. Pesan singkat ini seakan hadir untuk ikut mengingatkan setelah beberapa hari ini saya terpikir-pikir mengenai kematian. Kematian bukanlah hal yang akrab kita perbincangkan dalam kehidupan kita sehari-hari, meski nyaris tiap hari kita disuguhi dengan berita pembunuhan, kecelakaan, atau bahkan kematian massal dalam perang.

Mungkin karena itu kematian milik orang lain.

Sangat jarang kita berbincang tentang kematian yang akan kita hadapi, karena menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman kita kemudian menganggap kematian sebagai hal yang nyaris tabu dibicarakan. Kematian adalah sebuah bencana, musibah atau malapetaka, kehadirannya dalam pikiran kita hanya akan dibarengi dengan kemuraman dan kesedihan.

Kematian lebih mengerikan daripada menderita penyakit, menjadi miskin, atau hal-hal minor lainnya karena kematian tidak dapat disembuhkan atau dibalikkan keadaannya (unrecoverable). Ketika sakit kita masih bisa berharap sembuh, ketika miskin kita bisa berharap kaya, tapi apakah kita bisa berharap dapat hidup kembali setelah kematian? Tentu saja yang saya maksudkan adalah hidup kembali didunia ini. Ketidak mampuan untuk kembali pada kondisi semula inilah yang membuat kita merasa takut. Kita menjadi terputus dengan semua hal yang ada, semua orang, dunia kita, benda-benda kesayangan kita.

Ya, saya sendiri masih takut dengan kematian. Sebagian karena saya merasa tidak siap menghadapi konsekuensi hidup yang telah saya jalani, sebagian lagi karena takut kehilangan hal-hal yang (saya rasa) telah saya miliki.

Selama kita masih merasa memiliki sesuatu maka kita akan takut kehilangan.
(If you got NOTHING, you got NOTHING to lose)

Bukan ingin mempengaruhi anda untuk meninggalkan apa yang telah anda miliki, bukan pula untuk menyarankan anda berhenti mengejar apa yang ingin anda miliki, cuma ingin berbicara sendiri, tentang kematian yang pasti datang, tentang kehilangan yang pasti menjelang.
Memang baik mengejar mimpi, tapi alangkah indahnya bila sekali waktu kita mengingat akan mati, mengingat akah akhir dari dunia kita. Dan semoga hal itu yang akan membebaskan kita dari ambisi duniawi yang berlebih.

......ah saya cuma ngunandhika, nggreneng sendiri, bukan sok berlagak sufi.


(Diupdate sehari setelah diposting)

Waktu mencuci baju malam ini tiba-tiba saya merasa harus menulis ini. Sebenarnya posting ini seharusnya berjudul "Komm Susser Todd" atau 'Come Sweet Death'. Seharusnya juga dalam posting ini saya bercerita tentang saya yang tiba-tiba ingin melepaskan semuanya, untuk tidak hanyut dalam harapan-harapan, untuk lebih menjalani hidup dengan mengalir, untuk tidak terperangkap mengejar utopia saya. Tapi ternyata saya tidak bisa, saya masih takut, takut mati, takut melepas mimpi, takut berhenti mencari harmoni. Ah saya belum siap menjadi air yang mengalir, masih saja merasa diri ini api.