23 July 2007

Curhat Kebuntuan Saya

Ada sebuah pertanyaan yang beberapa kali diajukan ke saya, pertanyaan sederhana yang bisa menjadi serius atau bisa juga menjadi sekedar pertanyaan iseng. Pertanyaannya adalah " Apa yang akan kamu lakukan bila esok pagi adalah hari terakhir dalam hidupmu?" kurang lebih begitulah pertanyaannya.

Biasanya jawaban saya tidak jauh dari pergi keujung dunia atau semacamnya, intinya adalah pergi menuju tempat terjauh yang bisa saya capai. Beberapa orang lain punya jawaban yang berbeda, mulai dari menemui seluruh keluarganya, minta maaf ke semua orang, minta ampun ke Tuhan atau bahkan hal-hal lain yang lebih nggak jelas. Beberapa waktu yang lalu saya menemukan seseorang yang memberikan jawaban yang (mungkin) jarang terpikirkan oleh orang lain. Jawabannya adalah"...mencari dan mencoba segala kemungkinan agar besok tidak menjadi hari terakhir"

Jawaban ini mengingatkan saya pada sebuah joke yang mengisahkan seorang pasien yang diberitahu oleh dokternya bahwa usianya tinggal seminggu lagi, teman-temannya menganjurkan berbagai macam hal, ada yang menyuruhnya menghabiskan hidupnya dengan berdoa, ada yang justru menyuruh bersenang-senang, ada juga yang menganjurkan agar ia melewatkan waktu dengan keluarganya. Dia selalu menceritakan hal ini kepada siapa saja yang ditemuinya, di kantor, di cafe, dan semua orang memberikan saran yang serupa, hingga pada hari terakhir ada seseorang yang iseng berkata "...kenapa tidak coba dokter lain saja?"



Ketika kita menghadapi sebuah jalan buntu maka biasanya kita akan berhenti sebelum menabrak penghalang atau kebuntuan tersebut. Mungkin kita berhenti karena kita tahu bahwa tidak mungkin melewati penghalang tersebut, mungkin juga kita berhenti untuk memikirkan alternatif lain dalam melewati penghalang tersebut, atau mungkin juga kita berhenti karena kita sadar dengan batas dari diri kita.

Saya sering berhenti, bahkan ketika kebuntuan itu baru sebatas tanda-tanda.

Bila diumpamakan dengan sebuah jalan, maka ketika di awal jalan tersebut ada tulisan "Jalan Buntu" kemungkinan besar saya akan mengurungkan niat untuk melewati jalan tersebut. Entah kenapa secara tidak sadar saya akan menghentikan langkah saya atau bahkan menghindari ketika menemui jalan-jalan buntu ini. Mungkin saya takut atau mungkin juga saya malas menghadapi kebuntuan, menghadapi penolakan, menghadapi sesuatu yang tidak saya ketahui. Saya takut menghadapi batas imaginer saya, seakan-akan saya akan jatuh ke jurang jika melewati batas itu.

Saya sudah lupa bagaimana puasnya ketika mampu melewati batasan itu, saya lupa dengan kenikmatan ketika memburu puncak yang lebih tinggi, saya lupa debaran ketika mencoba menantang sesuatu hal yang bagi sebagian orang tidak mungkin. Ya, saya lupa semua itu, padahal dulu dengan bangga saya selalu mengutip kata-kata Napoleon "Sulit memang, tapi bukan tidak mungkin".


Sekarang saya menjadi tidak bisa membedakan antara sulit dan tidak mungkin.
---------------------------------------------------------------------------

Semoga sebelum bulan kedelapan berakhir kebuntuan ini terpecahkan



12 July 2007

Kapan Jusuf Kalla bisa seperti Jarwo Kuwat

Postingan kali ini masih juga bernada sedih, atau mungkin lebih tepat kecewa. Yang pasti bukan kecewa pada Timnas kita, wong mereka sukses menyarangkan 2 buah gol di gawang Bahrain kok. Kekecewaan ini menguat setelah membaca Kompas hari Sabtu atau Minggu kemarin, agak kurang jelas harinya sebab keduanya saya baca hari Minggu sore. Di salah satu berita yang dimuat disana ada yang bikin minggu sore saya menyebalkan, yaitu soal pembelaan JK mengenai Ujian Nasional yang disampaikannya di salah satu universitas.

Sejak awal si JK ini memang keukeuh dengan soal ujian ini, dengan alasan bahwa ujian ini penting fungsinya dalam dunia pendidikan kita sebab dengan pemberlakuan standar dan kenaikan standar setiap tahunnya maka mutu pendidikan kita akan semakin baik. Dan seakan belum cukup, masih ditambahkan lagi kalimat yang bunyinya kira-kira seperti ini "...lebih baik 100 anak stress daripada sejuta anak bodoh". Wow...fantastis, padahal UAN belum tentu membuat mereka pandai tapi kalau stress pasti, lantas kok bisa JK membuat komparasi seperti itu? Lagipula bukankah siswa yang tidak lulus itu juga bagian dari tanggung jawab sistem pendidikan, kok lantas mereka diperlakukan seperti tumbal dengan menganggap tidak masalah beberapa nggak lulus yang penting target standar nilai UAN terpenuhi.

Mungkin kalimat diatas muncul tanpa sadar atau muncul secara spontan, tapi bukankah ini mengerikan? Ya menurut saya ini mengerikan, sebab ini adalah cara perhitungan dagang, cara berhitung yang saya pikir khas para pemilik modal. Tidak masalah mengorbankan sebagian kecil untuk mendapatkan hasil yang besar. JK memang sering menggunakan perhitungan semacam ini, jumlah siswa yang tidak lulus, jumlah orang miskin, jumlah pengangguran, semuanya dipandang dalam persentase, dalam perbandingan dimana 2,5 juta orang hanyalah bernilai kurang dari 1% penduduk negeri ini (dan ini menjadikan mereka tidak penting buat JK). Hal ini juga mengingatkan saya pada contoh ekstrim macam film action amerika, dimana seringkali untuk melumpuhkan penjahat harus mengorbankan banyak nyawa, belum lagi mobil, fasilitas umum, tempat tinggal penduduk bahkan sayur mayur. Mengorbankan 400 nyawa dianggap layak untuk menyelamatkan 5000 penduduk atau keluarga presiden, yah... meskipun biasanya para hero mereka selalu bisa menggagalkan niat sang penjahat (meski juga dengan perngorbanan beberapa nyawa).

Bayangkanlah bila perhitungan semacam ini diterapkan pada pendidikan.

--------------------------------------------------------------------


(ruang diatas sengaja untuk memberi jeda agar anda sempat membayangkan)

Dengan adanya standar maka semua siswa diukur dengan satu acuan, dengan sebuah perhitungan matematis dimana semua orang diharapkan mencapai batasan yang sama, sebuah nilai minimal yang menentukan tingkatan seorang manusia. Rasanya semakin merinding saya. Bukankah ini menjadi mirip sebuah pasar, semua siswa dinilai dengan standar, sama halnya dengan semua barang yang dinilai dengan rupiah. Padahal nilai seorang siswa jelas bukan cuma soal kemampuannya menghitung trigonometri ataupun menjelaskan hukum Pascall. UAN menyebabkan para siswa kelimpungan mengejar angka, yang lebih di otak ya belajar, yang lebih di uang ya membeli, yang lebih di kuasa ya kolusi, yang lebih di hati mungkin tinggal berharap pada Tuhan dan gigit jari.

Seperti juga dinyatakan oleh JK bahwa para siswa belajar giat karena takut tidak lulus, maka ini menunjukkan bahwa kita bersekolah demi sebuah kelulusan, demi ijazah. Mungkin bersekolah untuk mencari ilmu memang cuma slogan.

Mereka yang tidak lulus mungkin memang bodoh, tapi apakah mereka memang masa bodoh? Memang banyak anak yang malas belajar, banyak yang tidak peduli apa yang diajarkan oleh guru mereka, tapi perlu diingat bahwa banyak juga yang menjadi bodoh karena keadaan, karena tidak punya waktu belajar, karena sekolahnya tidak layak untuk belajar, karena gurunya tidak bisa ngajar. Ada banyak sekali penyebab tidak lulusnya seorang siswa.

Lagipula rasanya sudah jadi kebiasaan buat JK untuk ngomong dulu, soal bukti nanti saja. Sudah banyak janji yang terlontar mulai dari soal gempa di Jogja hingga ke berbagai hal lain yang realisasinya tak kunjung tiba.

Kapan yah JK bisa seperti Jarwo Kuat yang komentarnya bisa bikin hati ketawa dan bukannya malah panas, kapan yah JK bisa berhenti berpikir ala pedagang biar bisa berpikir dan bertindak selayaknya seorang pendamping presiden, kapan.......yah???



NB : Meskipun begitu perlu saya tambahkan sedikit berita (semoga) baik. Yaitu tentang akan diterapkannya sistem penilaian berdasarkan kompetensi. Berarti ada harapan bahwa ijazah tidak akan lagi terlalu didewakan, dan sekecil apapun sebuah harapan tetap harapan.

09 July 2007

Kehidupan yang Adil dan Beradab

Beberapa hari yang lalu ada berita yang mengejutkan sekaligus menyedihkan, bukan soal kecelakaan bis pariwisata sekolah ataupun meninggalnya beberapa anak di gunung Salak, berita kematian adalah hal yang wajar. Berita yang menyedihkan, meskipun juga sudah dianggap wajar, adalah mengenai dihukumnya 2 orang yang (mungkin) mencuri 10kg bawang seharga Rp.60.000.
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/06/metro/3664672.htm)

Kalau anda bukan tidak up to date dengan berita macam begini mungkin anda heran, apa istimewanya berita seperti ini hingga disebut menyedihkan? bukankah tiap hari selalu ada berita semacam ini. Bagian menyedihkannya adalah pada vonis halim sebesar 8 bulan untuk mereka ini, sedangkan pada hari yang bersamaan ada beberapa koruptor dengan nilai hasil korupsi sekitar 14 Milliar mendapat vonis 1,5 tahun.
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/06/metro/3664833.htm)

Hal ini memang bukan barang baru di dunia peradilan kita, bahkan saking seringnya hal ini nyaris dianggap kesalah-kaprahan yang wajar.

Buat sebagian orang hal ini pasti mengusik rasa keadilan, banyak orang yang bakal mempertanyakan keadilan pada hukum dan sistem peradilan kita, dan pasti banyak juga orang yang tidak terima dengan hal diatas. Keadilan memang sesuatu yang absurd, (sesuatu yang mustahil atau membuat tertawa), nyaris tidak bisa ditentukan standar yang tepat untuk keadilan.

Mungkin buat anda yang bukan anak tunggal pernah merasa mendapat perlakuan tidak adil, mungkin karena adik atau kakak anda mendapat uang saku lebih banyak ataupun karena anda merasa orang tua anda lebih sayang pada kakak atau adik anda. Bisa jadi rasa tidak adil ini muncul ketika anda bersekolah, mungkin teman anda lebih disayang guru ataupun karena teman anda mendapat kesempatan yang tidak anda dapatkan. Bahkan setelah anda bekerja ketidakadilan mungkin masih terus ada, teman anda lebih cepat naik pangkat ataupun mendapat gaji yang lebih tinggi adalah sebagian kecil hal yang membuat anda merasa bahwa hidup tidak adil.

Adilkah hidup?

Biasanya sih tidak, terutama bila kita yang menentukan standar. Dalam menilai keadilan bagi diri sendiri kita mungkin akan menetapkan standar yang berbeda dengan bila kita menilai keadilan bagi orang lain. Apalagi bila orang lain mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada kita. Kadang hidup menjadi tidak adil juga karena kita berusaha menilai keadilan yang begitu luas ini dengan standar dan perspektif kita yang sempit ini. Adil jelas bukan berarti semuanya mendapatkan yang sama, akan tetapi tidak mendapat yang sama atau sebanding juga kita anggap tidak adil. Ya itulah yang dinamakan absurd.

Beberapa kali orang-orang di dekat saya curhat karena merasa mendapat perlakuan tidak adil, mulai dari perlakuan atasan di kantor yang cenderung memilih berdasarkan tampang atau kedekatan personal daripada kemampuan, ataupun merasa tidak adil karena teman si kawan tidak mau dititipi absen padahal sering nitip absen, ke soal sang ortu yang sering pilih kasih, hingga saya sendiri yang merasa tidak adil saat motor saya yang kemalingan padahal teman sayalah yang sering malas mengunci pagar.

Bahkan bila keadilan itu menyangkut Tuhan, kita juga sering merasa tidak adil ketika orang yang kita anggap baik mati cepat sedang ada banyak penjahat yang panjang umur. Atau bisa juga kita merasa tidak adil ketika banyak orang kecil menderita karena bencana alam sedangkan orang-orang kaya yang duitnya nggak jelas darimana asalnya malah hidup tenang di kota.


Keadilan mungkin memang bukan untuk dibicarakan, mungkin kita memang cuma bisa berusaha berlaku adil sambil berharap kita juga akan diperlakukan adil. Kalau toh kita tidak langsung mendapatkan keadilan, suatu saat kita pasti akan mendapat balasan dari apa yang telah kita perbuat untuk yang baik ataupun yang buruk. Ya, ini berlaku untuk setiap orang, baik yang percaya ataupun tidak. Untuk penutup posting kali ini mungkin lirik lagu mas Iwan terasa pas.



Di negeri ini apa saja bisa terjadi
Untuk mendapatkan keadilan
Kalau perlu membeli

Yang hitam bisa menjadi putih
Yang putih pun begitu
Terhadap yang benar saja sewenang wenang
Apalagi yang salah

Sebenarnya ini cerita lama
Tapi nyatanya sampai kini
Masih sama

Banyak pengacara berjaya karenanya
Pengangguran banyak acara itulah dia
Tekak tekuk hukum sudah menahun
Pengadilan bagai sarang para penyamun

Hukum mudah dipermainkan
Pasal pasalnya mulur mungkrek
Sampai kapan ini berjalan
Kok semakin hari bertambah ruwet

Kalau mau menang harus punya uang
Yang bokek tak masuk hitungan

07 July 2007

GiGi

Gigi merupakan salah satu perangkat keras dari tubuh kita yang memiliki aneka rupa fungsi penting dalam kehidupan kita. Benda ini dilapisi oleh email yang menjaga struktur gigi agar tidak berlubang, sedangkan bagian akarnya tertanam didalam gusi. Fungsi utamanya adalah menggigit, merobek dan mengunyah makanan, sedang fungsi sampingannya mulai dari pembuka tutup botol, perobek bungkus makanan, alternatif praktis dari pisau lipat dan bahkan sebagai senjata pada hewan karnivora. Dan itu baru fungsi pada saat pemiliknya masih hidup, setelah sang pemilik gigi kehilangan nyawa, gigi (atau lebih tepatnya susunan gigi) juga bisa berfungsi sebagai pengganti kartu identitas (praktis yah).

Dengan begitu banyak pengaruh yang ditimbulkannya dalam hidup kita maka wajar bila benda yang satu ini menjadi begitu penting keberadaannya, bahkan saking pentingnya banyak juga orang-orang yang memalsukan dan memperjual-belikannya. Untungnya hal ini tidak melanggar hukum. Layanan jasa bagi benda ini pun banyak bertebaran, mulai dari pasta gigi, sikat gigi, kawat gigi, dan yang pasti dokter gigi. Anehnya meski kita begitu membutuhkan hal-hal tersebut untuk merawat atau memperbaiki benda ini, kita sering juga tidak peduli dengan kesehatan atau keadaannya.

Saya memang bukan orang yang cukup rajin dalam merawat gigi, mulai dari sekedar malas menggosok gigi sebelum tidur hingga ogah ke dokter gigi. Hingga akhirnya beberapa gigi belakang saya berlubang. Meski telah mengetahui hal ini saya masih juga belum memutuskan ke dokter gigi, bahkan hinga berkali-kali gigi saya terasa sangat sakitpun saya masih berusaha menghindari dokter gigi. Yang pasti alasan saya enggan ke dokter gigi bukan karena terpengaruh Mao Zedhong yang juga menolak ke dokter gigi dengan alasan "...harimau juga tidak pernah ke dokter gigi, tapi mereka tetap bisa makan daging". Saya enggan ke dokter gigi karena saya merasa ngeri atau takut ada seseorang yang melakukan sesuatu pada tubuh saya diluar penglihatan saya, tapi pada akhirnya saya toh harus menghadapinya juga.

Setelah beberapa kali batal ke dokter gigi, akhirnya masuk juga saya ke ruangan dokter gigi di RS Boromeus ini, setelah sedikit penjelasan saya langsung didudukkan di kursi periksa. Reaksi pertama si dokter setelah melihat gigi saya jelas tidak menyenangkan bagi kedua belah pihak. Tidak menyenangkan buat si dokter karena mencabut gigi saya ini pasti tidak mudah, begitupun buat saya, tidak mudah berarti lebih sakit, lebih lama, dan juga lebih mengerikan.

Proses Pencabutan Gigi

Dan dimulailah prosesi cabut gigi (yang sudah tinggal setengah) ini, yang pertama-tama dilakukan adalah membersihkan karang gigi. Menurut pak dokter, karang gigi ini terbentuk karena gigi saya ini jarang saya gunakan untuk mengunyah. Hal ini jelas saya benarkan, lha bagaimana mau mengunyah wong kemasukan sebutir nasi saja rasanya nggak karu-karuan.

Setelah dibersihkan maka yang berikutnya adalah menyuntikkan bius di gusi saya, sekitar 3-4 kali kalau tidak salah, sempat terpikir bahwa ini bakal sakit, ternyata masih tidak seberapa. Setelah disuntikkan bius maka daerah sekitar gusi terasa menebal disertai adanya cairan yang cukup pahit.

Umumnya setelah dilakukan pembiusan maka gigi bisa langsung dicabut setelah membuat beberapa irisan, diungkit dan kemudian ditarik. Akan tetapi pada kasus saya dimana bagian gigi tampak yang tersisa tinggal sedikit maka prosesnya menjadi lebih panjang. (dan juga lebih menyakitkan) Jadi setelah pembiusan maka gigi saya harus dibelah, maka di-bor-lah gigi saya untuk mempermudah pencabutan akarnya. Asal anda tahu, saya pernah batal ke dokter gigi gara-gara suara bor ini (padahal saya sudah terlanjur antri), dan sekarang benda itu ada didalam mulut saya lengkap dengan bunyi ngiiiiing.........!!!! bercampur dengan bau hangus, soal rasa sakit sebenarnya nyaris tidak terasa cuma ngerinya itu yang tak tertahankan.

Sambil dibor rontokan gigi saya diambil dengan pinset, kemudian pak dokter membelah akar gigi saya dan mencabutnya satu persatu. Ada 3 bagian seluruhnya, dan disini terjadi pengulangan proses-proses diatas, dibor, diungkit, ditarik, dibor lagi dan seterusnya. Disela-sela proses diatas sang dokter juga sempat bertanya kalau-kalu proses ini terasa sakit, yah dengan beberapa jari dan sebuah alat didalam mulut saya menurut anda bagaimana saya harus menjawabnya? jadi the show must go on

Akhirnya setelah proses beberapa puluh menit yang terasa bagai beberapa dasawarsa tadi usai dengan dicabutnya akar gigi yang terakhir. Bagian gusi yang berlubang kemudian ditutup dengan kapas, diberi resep antibiotik dan pereda rasa sakit, dilarang makan dan minum panas, serta dianjurkan untuk segera minum obat, dan selesailah prosesi ini.

Oh ya sebelum ditutup saya ingatkan sakit gigi nggak lebih baik daripada sakit hati, sueeer!!!