05 December 2006

Permen Karet




Permen karet adalah permen yang kenyal seperti karet karena memang dibuat dari getah pohon sebangsa karet, dikunyah-kunyah tanpa harus ditelan apalagi ditempelkan dibawah meja, aneka rupa, warna dan rasanya. Boleh saja sekedar menikmati tanpa harus tahu darimana mereka berasal, tapi postingan kali ini juga boleh dibaca meski tak sambil mengunyah permen karet.



Sejak zaman dulu manusia sudah gemar mengunyah-ngunyah sesuatu meski bukan untuk ditelan. Mungkin bertujuan untuk mengisi waktu luang, sekedar meng-olah raga-kan rahang atau bisa juga karena tidak mau kalah dengan sapi. Orang Eskimo misalnya, mereka suka mengunyah-ngunyah lemak dan kulit ikan paus setelah makan. Sementara orang Siera lebih memilih biji cola, sedangkan di Somalia getah pohon Birdwood yang digunakan. Sedangkan para beruang juga suka mengunyah getah pohon untuk membantu mereka dalam menghadapi masa hibernasi selama musim dingin.

Kemudian entah karena bahan-bahan ini kurang nyaman atau memang karena manusia adalah makhluk yang terus berkembang, pada sekitar abad 19 mereka mulai mencoba menggunakan bahan yang lebih elastis tapi tetap aman dikunyah. Bahan tersebut adalah getah pohon Sappodila yang disebut chicle (mungkin dari sini juga nama Chiclet berasal). Pohon ini banyak terdapat di Amerika Selatan.




Tentu saja getah pohon tersebut masih belum memiliki rasa yang seenak sekarang, maka kemudian ditambahkanlah rasa Mint yang pedas dan dingin oleh Mr. Adam dari Amerika. (Ehm, saya juga nggak tahu Adam yang mana) Dan pengembangan permen karet ini tidak berhenti sampai disini saja. Pada tahun 1920-an Amerika sudah memproduksi permen karet secara besar-besaran. Bukan hanya jumlah produksi dalam setahun yang bila dijajarkan maka akan mencapai 5juta mil tapi bahan-bahannya pun mengalami pengembangan. Getah sintetis, gula, sirup jagung, pemberi rasa, pelmbut dan aneka bahan lain ditambahkan sehingga permen karet menjadi beraneka ragam.Pengembangan-pengembangan berikutnya juga memungkinkan permen karet dimainkan dalam bentuk gelembung ^_^ jadi inget Lupus ^_^

I Love because I am Loved

Setelah beberapa posting sebelum ini lebih banyak diisi dengan tulisan-tulisan yang kebanyakan bernada protes, sedikit keras (sedikit lho ^_^), posting kali ini saya mencoba buat ngomong soal cinta. Kita semua pasti terlibat dengan cinta, entah merasakannya sebagai pelaku, sebagai korban, eh maksud saya sebagai yang dicintai, atau setidaknya sebagai hasil dari cinta. Ada banyak hal yang bisa diceritakan tentang cinta, ada berjuta definisi dan pemahaman yang berbeda dari sebuah kata sederhana ini.

Nah disini saya ingin ngobrol soal cinta dalam artian yang lebih universal tanpa harus dibatasi pada hubungan cinta antara pria dan wanita, tapi juga antara orang tua dan anak, teman, sesama manusia, dan bahkan antara sesama penghuni jagat raya, ehm...siapa tahu blog ini juga diakses oleh sebentuk alien nun diluar sana

@_@'%#*#@~#2%^4(@df (Welcome to the earth, ups my blog)

Cinta adalah hal yang spesial, sama seperti tidak ada permukaan lidah dan sidik jari yang sama, maka cinta pun hadir dalam bentuk yang berbeda bagi setiap manusia. Namun disini saya ingin mencoba untuk membagi cinta dalam 4 + 1 bentuk dasar, yaitu:


---> 1. I LOVE because I am LOVED
---> 2. I am LOVED because I LOVE
---> 3. I LOVE because I NEED
---> 4. I NEED because I LOVE
---> 4+1. I LOVE because I LOVE


Yang pertama ialah "I LOVE because I am LOVED", aku mencintai karena aku dicintai, ini adalah bentuk cinta yang diberikan setelah merasakan cinta. Hal ini berarti kita tidak mencintai seseorang sebelum kita merasa dicintai. Hal ini adalah cinta yang sering terjadi pada anak-anak atau pada binatang peliharaan ^_^ ketika mereka merasa kita cintai maka mereka akan mencintai kita. Walaupun begitu hal ini juga banyak terjadi pada orang dewasa, kadang karena merasa butuh kepastian, kadang karena takut patah hati atau kecewa karena cinta. Hal ini sebenarnya juga cukup beresiko, dengan menunggu dicintai maka ketika kita merasa telah mendapatkan perasaan di-CINTA-i maka kita akan membalas dengan sepenuh hati karena merasa bahwa kita tidak akan tersakiti oleh cinta itu, atau bisa juga kita hanya akan berhenti menunggu untuk dicintai.

Yang kedua ialah "I LOVED because I am LOVED", aku dicintai karena aku mencintai. Ini adalah cinta yang cukup 'berani', sebab kita memilih untuk mencintai terlebih dahulu tanpa memandang apakah kita dicintai atau tidak. Saya sendiri termasuk orang dengan tipe ini, saya lebih memilih untuk mencintai terlebih dulu, tentu saja dengan harapan cinta saya akan terbalas, kalau toh tidak....ya resiko ^_< color="#ff6666">I LOVE because I NEED", aku mencintai karena aku membutuhkan.
Ini adalah cinta yang sedikit beraroma egois, ketika butuh maka kita mencintai ketika tidak butuh maka kita tidak mencintai lagi, yah kira-kira mirip "ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang" ^_^ atau bila dalam bahasanya si Jack " The moment I no longger need You, I will stop loving you"

Sementara untuk yang keempat adalah kebalikannya "I NEED because I LOVE", aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu. Disini yang pertama adalah rasa cintanya, dimana karena kita mencintainya maka kita membutuhkannya. Dan kita akan selalu membutuhkan selama kita masih mencintai, tidak ada lagi yang namanya "habis manis sepah dibuang"

Yang terakhir sebenarnya adalah berada dalam klasifikasi yang berbeda, bila pada 4 poin diatas cinta didasarkan pada sebab akibat maka cinta yang terakhir ini adalah cinta tanpa dasar, paling seenaknya, paling nggak jelas, dan sekaligus cinta yang paling tidak logis. Tapi, juga indah, karena cinta ini tidak butuh alasan, tidak butuh sebab, dan tidak terikat oleh bentuk-bentuk tertentu. Terdengar sedikit memaksakan yah? Tapi bukankah itu esensi cinta, murni, dan tulus, dan saya yakin anda pasti pernah menikmati cinta yang seperti ini, spontan, indah, bahkan meski anda tidak tahu kenapa anda bisa merasakannya.


Jadi, selamat bercinta ....!!!

30 November 2006

Antara Membaca dan Menulis

Dengan membuka blog ini berarti anda melakukan aktivitas membaca lebih dari sekedar kewajiban, tentu saja karena tidak ada yang mewajibkan anda membaca blog ini. Dengan demikian anda mungkin sama dengan saya yang menganggap bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan bagi jiwa.Membaca pulalah yang menjadikan manusia masuk ke dalam golongan beradab. Bangsa-bangsa besar masa lampau seperti Cina, India, atau Mesir, dianggap sebagai pusat kebudayaan karena kemampuan mereka dalam hal membukukan catatan tentang keberadaan mereka. Pun tidak ketinggalan bangsa Arab yang mengalami kemajuan besar-besaran sejak turunnya ayat Al-Quran yang diawali dengan kata "Iqra" yang berarti "Bacalah".

Sedemikian hebatnya pengaruh kegiatan membaca dalam peradaban manusia. Namun perlu diingat bahwa membaca adalah sebuah akibat, akibat dari apa?, tentu saja akibat dari menulis. Menulislah yang menjadi awal dari kegiatan membaca, entah siapapun yang menulis,pasti kemudian tulisan itu akan dibaca, setidaknya oleh si penulisnya sendiri. Menulis seharusnya juga berada pada posisi yang sama dengan membaca, sayangnya budaya menulis itu sendiri masih kalah dengan budaya membaca. Masih banyak orang yang menulis karena keterpaksaan, karena keadaan, karena tugas, atau alasan-alasan lain. Bahkan bagi sebagian besar orang menulis juga merupakan sebuah kegiatan yang menyulitkan, sehingga buku tentang cara menulis masih terus beredar di pasaran. Bandingkan dengan buku "Membaca itu Mudah" misalnya ^_^

Saya seringkali mendengar keluhan teman-teman yang merasa kesulitan ketika mendapat tugas mengarang, mulai dari zaman Sekolah Dasar hingga saat tidak lagi bersekolah (kuliah maksudnya). Saya sendiripun pernah mengalami saat-saat dimana menulis menjadi sebuah kegiatan yang begitu menyusahkan, hal ini bukan melulu disebabkan karena tidak ada hal yang bisa dituangkan dalam bentuk tulisan, tapi juga karena kebingungan dalam memilih kata untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikiran.

Padahal menulis nggak cuma berfungsi sebagai sesuatu yang khusus atau spesial sehingga hanya perlu dilakukan untuk hal tertentu, menulis juga tidak bersifat esklusif sehingga hanya orang tertentu yang boleh menulis. Menulis boleh dan sebaiknya dilakukan oleh semua orang yang bisa dan mampu menulis.


--------Menulis apa?-----------


Menulis apa saja, apa yang anda alami, apa yang anda rasakan, anda lihat, APA SAJA!. Masih bingung untuk memulai?, mulailah dengan bertanya, terus bertanya, perbanyak pertanyaan anda. Setelah mendapat cukup banyak pertanyaan mulailah untuk menjawabnya.
Ehm... anda mungkin beranggapan bahwa ini sedikit membingungkan, kenapa mesti bertanya jika kita harus menjawabnya sendiri? Itulah yang disebut ber-'kontemplasi'.
Sebuah kegiatan untuk bertanya dan berdialog dengan diri kita sendiri, untuk mencari jawaban dari dalam diri kita sendiri. Berkontemplasi ini bukan hanya berguna dalam menulis fiksi atau hal-hal yang bersifat filosofis saja, berkontemplasi juga berguna untuk menggali ingatan-ingatan kita.

Setelah anda mulai menulis biasanya akan muncul pertanyaan "Untuk apa menulis?". Fungsi utama dari menulis adalah membukukan ide atau gagasan anda. Dan kalau anda masih nekat bertanya "Untuk apa dibukukan?" maka saya akan menjawab; Agar tidak lupa, agar ada catatan atau bukti tertulis tentang ide atau gagasan anda, agar ide atau gagasan anda bisa disampaikan kepada orang lain dengan lebih mudah, agar...,agar..., dan masih banyak lagi. Coba anda rasakan ketika anda sudah mulai lancar menulis, maksud saya lancar menuangkan pikiran anda dalam bentuk tulisan, kegiatan ini menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan dan tidak lagi membosankan. Menulis bukan hanya membantu anda menyalurkan ide-ide anda, menulis juga membuat anda lebih mudah berkomunikasi, lebih santai, lebih fresh dan jutaan manfaat lainnya.

Jadi kenapa tidak mulai menulis? Ada banyak media untuk menulis buku harian, jurnal, blog, atau bahkan dibukukan untuk kemudian disebarluaskan, silahkan saja ^_^


"Yang bisa, lakukanlah
Yang tidak bisa melakukan, ajarkanlah
Yang tidak bisa mengajar, dirikanlah sekolah
Yang tidak bisa mendirikan sekolah, menulislah"


"Menulis, untuk anak cucu kita"

24 November 2006

Hujan, air, dan mandi

Posting kali ini ditulis pada saat bulan November sudah hampir berakhir, sepekan lagi bulan Desember. Seharusnya, ehm maksud saya biasanya, bulan ini sudah termasuk dalam siklus musim penghujan. Dan meskipun saya sudah lupa angin muson mana yang bertiup kali ini, saya tetap merasa bahwa di Indonesia kita ini, lebih tepatnya lagi di Bandung, seharusnya sudah dihujani oleh butir-butir air pada hari-hari seperti ini. Beberapa waktu lalu memang sempat turun hujan, tapi itupun hanya sekali dua kali.

Keadaan cuaca yang cukup panas dan kering ini masih ditambah dengan matinya air kamar mandi di kost ugghhhh.....!!! sebagai akibatnya saya dan juga beberapa penghuni kost yang lain harus turun lebih jauh lagi demi mendapatkan air. Berhubung lokasi kamar saya yang berada pada tingkat 0 dan kamar mandi yang berada pada tingkat -3 (Minus tiga) maka kegiatan mandi menjadi sangat tidak efektif, bagaimana tidak, bila setiap kali selesai mandi saya berkeringat lagi. Berdasarkan keterangan ibu kost air di kamar mandi atas mati karena pompanya tidak dapat menyedot air lagi meskipun kedalamannya telah ditambah. Tentu saja terlepas dari keharusan ibu kost untuk bertanggung jawab tentang masalah kamar mandi ini (menggunakan air PAM misalnya) kondisi ini memang bukan sebuah masalah yang sepele.

Berdasarkan sebuah berita di Kompas yang menyebutkan bahwa lahan serapan di kota Bandung tinggal 12% dari jumlah seharusnya yang sebesar 50%, maka kekurangan cadangan air tanah di kota Bandung adalah hal yang wajar. Air yang mampir ke bumi setelah dijatuhkan oleh awan akan diserap oleh tanah, dan daerah yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan menahan air didalamnya inilah yang disebut lahan serapan. Supaya dapat menjadi lahan serapan yang baik maka lahan tersebut harus dapat menyerap. Duh...~_~; Ehmmm maksudnya air harus dapat masuk ke bagian dalam tanah, hal ini dapat terjadi dengan baik apabila tanah tersebut tidak tertutup aspal atau beton, dan lebih baik lagi bila ditumbuhi pepohonan.

Pohon memang sebuah bagian yang tak terpisahkan dari manusia, bahkan Adam dan Hawa harus turun ke bumi karena mencicipi buah dari pohon khuldi, bahkan hingga kini beberapa pohon masih seringkali dianggap keramat. Pohon bukan hanya memberikan manfaat dari 'tubuhnya' secara langsung tapi juga manfaat-manfaat yang seringkali kita lupakan seperti, pengolahan polusi udara, penyerapan dan penyimpanan air, dan masih banyak lagi.

Sayangnya di Bandung pohon masih kalah pamor dengan Factory Outlet, pabrik-pabrik O2 ini ditebangi demi perluasan jalan, pembangunan mall, tempat parkir, gedung-gedung, dan aneka fasilitas penunjangnya. Belum lagi dikawasan bandung utara yang seharusnya menjadi kawasan cadangan air untuk kota Bandung pembantaian pohon-pohon masih saja marak. Entah karena lupa, malas, atau memang tidak adanya kesadaran, hampir tidak ada kegiatan penggantian atas pepohonan yang ditebang. Dan meskipun ada beberapa ruang hijau di kota ini, fungsinya nggak lebih dari sebuah taman.


Jadi daripada sekedar berkeluh kesah dan menyalahkan, ini waktunya ambil tindakan sudah cukup gerakan sejuta bunga, ganti dengan "Gerakan Sejuta Pohon". Mulai sekarang juga tanam pohon sekecil apapun, lebih dianjurkan lagi kalau pohon produktif, maksudnya memberi hasil seperti, mangga, rambutan, jambu dll. Dan kegiatan ini akan saya awali dengan pohon yang produktif, murah dan mudah didapat, gampang perawatannya dan praktis, pohon.....Tauge, eh pohon bukan yah? ~_~;

16 November 2006

Indonesia Asli

udah liat iklan Hexos yang adegannya ada cewe nanya "aslinya mana mas?" trus si cowok dengan ekspresi ala kadarnya ngejawab "Teghal" ^_^ Saya sih bukannya mau mengomentari iklannya, tapi saya kepengen ngebahas soal pertanyaannya. Seringkali ketika kita berkenalan kita bertanya "Aslinya mana.....?" tentu saja maksudnya adalah menanyakan daerah asal atau kampung halaman dari orang yang kita ajak bicara. Tentu saja ini adalah hal yang bisa dianggap wajar, tapi bolehlah sekali waktu kita memprotes kewajaran ini.

Masalah bisa muncul ketika orang yang kita tanya ternyata tidak jelas asalnya, eh maaf maksud saya daerah asalnya yang kurang jelas. Sebagai contoh sebut saja si X (bukan nama sebenarnya), anak dari seorang ibu asal Pasuruan (bukan ibu sebenarnya) dan ayah asal Palembang (juga bukan ayah sebenarnya) dan lahir di Semarang (bukan kota sebenarnya), kemudian pada waktu berumur 3 bulan (bukan bulan sebenarnya) dia pindah ke Kalimantan barat (bukan...eh) nah ketika ia berumur 27tahun ketika ada orang yang bertanya "Aslinya mana....?" Lantas jawaban apa yang akan diberikannya?.

Apakah setiap kali mendapat pertanyaan seperti ini dia harus menjelaskan kerumitan asal-usulnya? ~_~; Atau kalau yang tanya nekat ngasih pertanyaan begini "ehm...jadi sebenernya anda asli mana?"


Nah jadi mari kita membicarakan soal asli yang satu lagi.


Istilah Indonesia asli atawa pribumi sempat menjadi sesuatu yang populer di negeri ini, menurut pengertian umum istilah diatas berarti orang-orang yang merupakan keturunan asli dari suku-suku yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Batak, Bali, Papua, dll, dst. Dan orang-orang yang tidak termasuk ini adalah keturunan China atau Eropa, Afrika, Dsb...

Nah! apakah hal diatas sudah benar? yang saya maksudkan bukan soal pembedaannya, tapi apakah benar yang namanya Indonesia Asli itu ada?, bukankah Indonesia sendiri tidak asli, bukankah Indonesia berdiri diatas dan terdiri dari berbagai suku, budaya, dan jutaan perbedaan lainnya. Jadi Indonesia itu sendiri tidak asli, sebab ia merupakan campuran dari berbagai unsur.



Jadi, asli manakah anda?

Budaya Kekerasan

Dulu mungkin anda, seperti saya juga, diajarkan bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang ramah, bangsa yang gemar menolong, dan saya (pada waktu itu) memang merasa demikian. Saya merasa bangga hidup di sebuah negara yang penduduknya begitu ramah, gemar menolong dan suka tersenyum. Entah karena saya yang belum cukup dewasa dan belum cukup pandai untuk memahami bahwa itu bukanlah wajah yang sebenarnya dari bangsa ini.

Bertahun kemudian saya mengetahui bahwa bangsa ini juga sama seperti bangsa yang lain, terdiri dari manusia yang beraneka ragam. Dan seperti juga semua manusia biasa pada umumnya, bisa tersenyum, bisa gembira, dan bisa juga marah atau bahkan mengamuk. Amuk massa, sebuah istilah yang akhir-akhir ini jadi kerap muncul, sebuah istilah yang menggambarkan keadaan dimana massa dalam keadaan marah dan melakukan tindakan yang bersifat kekerasan atau meluapkan kemarahan. Kekerasan memang bukan hal baru dalam kehidupan kita, dia cuma berubah wujud. Kekerasan sudah ada bahkan sejak jaman nabi Adam, dan terus ada hingga ke anak cucunya yang berjumlah milyaran ini.

Lantas mengapa bangsa kita ini dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah dan baik hati?

Apakah karena bangsa ini pernah merelakan diri dijajah ratusan tahun? ataukah karena kita ini memang bangsa yang cuma bisa tersenyum dan manggut-manggut mengiyakan? semoga bukan begitu. Bila kita merujuk arti kata 'budaya' sebagai sebuah hasil karya cipta rasa dan karsa manusia, maka kekerasan adalah juga sebuah budaya. Lantas sejak kapan bangsa ini mengenal budaya kekerasan?

Sejak dulu kala!, sejak zaman kerajaan-kerajaan yang bertebaran di sekujur Nusantara, kita sudah mengenal kekerasan. pembantaian, perebutan kekuasaan, pengkhianatan, hingga ke perang besar-besaran menghiasi sejarah negeri kepulauan ini, dan tumbuh seiring dan saling mempengaruhi dengan kebudayaan lain seperti, seni, arsitektural, bahasa, dan budaya-budaya lainnya. Akulturasi yang terjadi bisa dilihat dalam tari yang menampilkan atau menggambarkan adegan perang/perkelahian, atau bisa juga dalam hal-hal seperti sabung ayam, adu jangkrik, dan hal-hal yang juga menyerempet kekerasan lainnya. Dan kadang kita memang menikmati kekerasan, entah sebagai penonton atau sebagai pelaku.

Tapi kita pernah dikenal sebagai negeri yang penduduknya sopan, ramah dan baik hati lho?! Pernah lho?!

Ya, pada masa orde baru kita memang dikenal seperti itu, tapi yang terjadi sebenarnya pada saat itu kita justru dididik untuk terbiasa dengan kekerasan. Sementara kita dininabobokan dengan kenyamanan, kekerasan berpusar disekeliling kita, semakin pekat dan akhirnya ketika orde baru berubah bentuk (ya, ordenya berubah, tapi toh keadaannya tetap) pusaran tadi menelan kita. Dan bangsa ini menjadi begitu terbiasa untuk meluapkan perasaannya (karena efek rasa bebas?) yang sayangnya justru seringkali negatif.

Dengan berbagai label kita berusaha mewajarkan sebuah tindak kekerasan, entah label agama, atas nama kelompok, atas nama rakyat, atau karena merasa sebagai korban, dan yang paling menyedihkan seringkali juga dengan membawa nama Tuhan atau demi kebenaran.

...dan kekerasan mungkin masih akan terus mewarnai kehidupan kita...




12 November 2006

Negara Tanpa Tentara

Pada waktu saya kembali ke Bandung setelah mudik lebaran beberapa waktu lalu saya menggunakan jasa kereta api. Dan seperti sudah menjadi sebuah kesepakatan bersama, berbagai kendaraan jarak dekat maupun jarak jauh menjadi penuh sesak oleh orang-orang yang terlibat dalam arus balik, begitupun kereta yang saya tumpangi. Penuh sesak, padat, rupanya PT Kereta Api selaku penyedia jasa selain menambah gerbong kereta juga memberlakukan kebijakasanaan pembelian tiket bebas tempat duduk ( mau duduk di lantai boleh, di toilet pun silahkan) pada jam keberangkatan, saya sendiri kurang tahu apakah ini kebijaksanaan ataukah pemanfaatan kesempatan. Di sinilah permasalahan mulai timbul, saya dan puluhan penumpang lain yang telah membeli tiket berhari-hari sebelumnya harus berhadapan dengan para tentara yang membeli tiket bebas tempat duduk. Saya sendiri tidak mengalami masalah berarti, karena ada petugas dari PT KA dan kepolisian yang membantu kami mendapatkan hak untuk duduk di tempat duduk yang telah saya pesan dan bayar tunai 30 hari sebelumnya.

Sementara itu ada banyak penumpang lain yang harus beradu mulut dengan para tentara tersebut, beberapa harus mau berbagi tempat. Para penumpang yang merasa bahwa duduk di tempat duduk sesuai dengan nomor karcis adalah hak mereka harus berhadapan dengan para tentara yang merasa bahwa dengan tiket bebas tempat duduk (bahkan banyak juga yang tidak menggunakan tiket) mereka dapat duduk di kursi manapun. Padahal tiket bebas tempat duduk adalah tiket tanpa nomor yang berarti mereka harus duduk di lantai, bordes atau dimanapun, karena seluruh kursi telah habis dipesan.

Disinilah ide dasar posting kali ini muncul, dalam perjalanan yang berlangsung selama kurang lebih 15 jam ini (telat begete ~_~;) muncul pikiran bila seandainya tidak ada tentara. Pada awalnya pikiran ini muncul karena kejengkelan saya pada mereka, para tentara yang ada di gerbong saya maksudnya. Setelah beberapa waktu di kost saya mencoba untuk mengembangkannya dengan tidak melulu berdasar pada emosi saya, dan sekaligus mencoba untuk bersikap lebih objektif, lebih luas, dan dengan asas praduga tak bersalah ^_^ (Presumption of innocent)

Apakah itu tentara

Tentara adalah bagian dari sebuah angkatan bersenjata, sedangkan angkatan bersenjata sendiri adalah "Satuan dan organisasi pertahanan dan penyerangan yang dibentuk oleh pemerintah dari negara tersebut. Angkatan bersenjata dibentuk untuk menegaskan kebijakan domestik dan luar negeri pemerintah.(dicuplik dari Wikipedia)" Jadi tentara sebagai bagian dari angkatan bersenjata adalah sebuah komponen manusia dari sebuah organisasi militer atau organisasi bersenjata.

Tentara mungkin sudah ada sejak manusia mengenal sebuah bentuk pemerintahan, mereka berfungsi mirip dengan tentara pada sistem kerajaan serangga. Kedalam mereka berfungsi defensif atau memberikan perlindungan kepada rakyat atas serangan yang datang dari luar. Keluar mereka berfungsi ofensif, bisa dengan tujuan membantu mendapatkan kebutuhan rakyat, baik dengan menguasai daerah baru, menyerang kelompok lain ataupun dengan cara-cara lain.

Seiring dengan perkembangan zaman, angkatan bersenjata menjadi sesuatu yang lebih kompleks, baik secara organisasi, fungsi maupun bentuk dan tehnologi. Yang akan saya bahas disini hanyalah mengenai fungsi, karena saya bukan pengamat militer maka soal organisasi, bentuk, dan tehnologi saya lewatkan. Secara fungsi angkatan bersenjata yang ada sekarang adalah sebuah bentuk kepanjangan tangan dari penguasa suatu negara. Kebijakan sebuah negara untuk menyerang negara lain, misalnya, tentu harus didukung oleh angkatan bersenjata. Harus, sebab tidak mungkin si pemimpin sendiri yang maju ke medan perang, gila apa @_@.

Jadi secara sepihak bisa saya simpulkan bahwa angkatan bersenjata merupakan salah satu pemicu perang. Meskipun bisa juga dikatakan bahwa angkatan bersenjata juga memiliki keuntungan dalam menyediakan perlindungan bagi penduduk suatu negara dari serangan yang berasal dari luar maupun kekacauan yang timbul didalam negeri, angkatan bersenjata juga bisa merusak masyarakat dengan terlibat dalam perang yang tidak bisa di menangkan, penekanan dalam negeri, atau dengan kata lain mendukung ide tentang kekerasan (atau ancaman yang bisa dilakukan) untuk mendapatkan sesuatu yang dimaui oleh orang atau kelompok tertentu. Pengeluaran yang berlebihan untuk mendukung kekuatan militer dapat membuat masyarakat sengsara karena kekurangan tenaga kerja dan bahan baku untuk kehidupan sehari-hari, memperburuk kehidupan sehari-hari penduduk sipil. Jika tetap berlanjut dalam jangka waktu yang panjang, akibatnya penurunan penelitian dan pembangunan dalam negeri, menurunkan kemampuan masyarakat untuk membangun fasilitas dasar yang banyak digunakan oleh masyarakat seperti sekolah, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya. Penurunan dan kekurangan dari pembangunan ini berdampak negatif bagi kekuatan militer. Soviet Union adalah contoh nyata di jaman modern ini untuk masalah tersebut.

Lantas bagaimana kita mengatasi serangan atau kekacauan yang ada, bila tidak ada angkatan bersenjata?

Jawabannya bisa beragam, tapi saya akan memberikan beberapa jawaban saya atas pertanyaan ini. Jika tidak ada angkatan bersenjata maka tehnologi persenjataan tidak akan terlalu berkembang, dengan keadaan seperti ini maka kemungkinan timbulnya kekacauan akan lebih minimal. Dan seandainya terjadi kekacauan maka ada beberapa alternatif dalam penyelesaiannya, misalnya dengan adanya 'transarmament' atau 'pertahanan berbasis pada penduduk sipil', jadi dengan pengalihan alokasi anggaran militer pada bidang kesejahteraan sosial selain akan memperkecil kemungkinan munculnya kekacauan juga meningkatakan kemampuan masyarakat untuk bereaksi terhadap adanya ancaman. Kalau perut kenyang, otak tenang kan masyarakat jadi nggak gampang tersulut api emosi ^_^. Tentunya juga dengan adanya perlakuan yang adil dalam hukum, hak dan kewajiban masyarakat maka akan lebih memperkecil lagi kemungkinan adanya kekacauan.

Kalau boleh saya meng-analogikan angkatan bersenjata dengan senjata itu sendiri, pada awalnya senjata berfungsi sebagai sebuah alat perlindungan (begitupun angkatan bersenjata), dalam perkembangannya, senjata menjadi alat untuk menyerang orang lain, menjadi alat untuk membenarkan kata-kata kita, alat untuk memaksakan ide kita, dan masih banyak lagi. Padahal menurut Gandhi, kekerasan adalah jalan orang yang hatinya lemah. Yup, saya setuju, ketika kita menggunakan kekerasan semata, menggunakan okol (kekuatan) yang tidak didasari dengan akal, maka sesungguhnya kitalah yang lemah.

Kita selalu berusaha menjadi lebih kuat, senjata baru, tehnik baru, menambah personil, dan segala macam cara kita lakukan untuk memperkuat diri. Apakah itu kita lakukan karena kita kuat? menurut saya tidak, kita melakukan itu karena kita merasa lemah, kita merasa takut menghadapi kekuatan yang lebih besar, yang seringkali bahkan hanya ada dalam mimpi kita. Dengan memiliki senjata atau kekuatan maka kita juga akan menjadi lebih mudah bertindak ngawur atawa sembrono, dengan mengutip dari Spiderman "With greater power comes greater responsibility" --kekuatan/kekuasaan yang lebihbesar membutuhkan tanggung jawab yang lebih besar-- nah lantas para pemilik kekuatan itu apakah sudah memiliki tanggung jawab sebesar kekuatan mereka? auh ah elap *_* (Pak Bush, para presiden pemilik nuklir, para polisi dan tentara pemilik senjata, para....., para......dst...)

Menjelang akhir posting saya ini, saya menjadi lebih tenang setelah menumpahkan segala uneg-uneg ini, saya sadar bahwa sebuah negara (atau dunia?) tanpa tentara adalah sebuah utopia.




---Mungkin cuma surga yang tak butuh tentara---

07 November 2006

Mengumpat atawa Misuh

Sepertinya dalam keseharian kita pasti pernah kesal atau bahkan marah, kadang karena ada hal yang terjadi tak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kadang ada seseorang yang bertingkah menyebalkan, dan masih ada seribu satu sebab yang lain. (Nggak usah dihitung beneran). Entah dijalan, dikantor, sekolah, kampus, pasar, atau dimanapun, kadang rasa kesal itu tiba-tiba nyelonong dihadapan kita. Dan bila itu terjadi maka bisa ada berbagai macam reaksi kita dalam menghadapinya, mulai dari marah-marah, mendiamkan, menangis mungkin, atau bisa juga mengumpat. Biasanya sih reaksi yang paling awal adalah mengumpat, kemudian marah-marah, dan selanjutnya terserah anda ^_^

Mengumpat biasanya sebuah kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan kata-kata kasar dan diucapkan dengan keras ataupun perlahan. Mengumpat seringkali menjadi sebuah reflek ketika sesuatu terjadi pada kita, terutama bila kejadian tersebut tidak menyenangkan. Entah umpatan tersebut ditujukan kepada orang lain, diri sendiri, makhluk lain (kecoa, tikus, dkk) atau bahkan pada benda-benda disekitar kita (kepada pintu yang telah menjepit jempol kaki kita mungkin ^_^).

Mengumpat jelas bukan sebuah kegiatan yang terpuji, maksud saya tidak anda yang memuji anda karena anda mengumpat kan?. Soal keburukannya jelas anda sudah cukup paham, mulai dari tidak sopan sampai soal buang-buang tenaga yang bahkan bisa memicu peperangan. Jadi disini saya ingin ngomong soal keuntungan dari mengumpat, tentu saja bukan sebagai sebuah pembelaan atau pembenaran atas tindakan ini, cuma sebuah cara pandang yang berbeda.

Secara fungsi mengumpat dapat menyalurkan kemarahan anda, hal ini juga dapat berfungsi mengurangi luapan emosi anda, maksudnya ialah dengan mengumpat maka anda bisa menunjukkan dan mengeluarkan kemarahan anda, meskipun (seringkali) ini adalah hal yang bodoh, karena justru akan memancing kemarahan yang lebih lanjut.

Selain soal memuaskan diri anda sendiri, mengumpat juga berfungsi untuk menunjukkan bahwa anda sedang marah atau kesal baik kepada orang yang bersangkutan maupun kepada orang disekitar anda. Tentu saja tujuannya adalah agar orang yang membuat anda kesal tahu bahwa dia telah melakukan sesuatu yang membuat anda marah, atau setidaknya anda bisa menunjukkan kepada orang disekitar anda bahwa telah ada seseorang yang membuat anda marah.

Mengumpat juga bisa berfungsi mengurangi rasa sakit, terutama bila rasa sakit itu datang karena kesalahan anda sendiri, kesetrum, kejepit pintu, dan berbagai hal-hal menyakitkan lainnya. Dapat mengurangi rasa sakit sebab pikiran anda menjadi tidak sepenuhnya terfokus pada rasa sakit tapi terbagi juga pada usaha untuk mengumpat.

Yahhh....sebenarnya masih banyak lagi alasan untuk mengumpat, tapi daripada nanti anda menganggap saya mencari pembenaran, mending udah aja ya...

Sebelum anda mengmpat mungkin sebaiknya anda ingat:

"Bahwa mengumpat lebih sering menambah masalah daripada menyelesaikannya"

06 November 2006

Kaya dan Miskin

Dengan berbagai alasan dan berbagai cara, (hampir) semua orang ingin kaya. Mulai dari sekedar kaya, cukup kaya bahkan hingga KUUUAAAYYYAAA RAAAYYYAAA (Maksudnya amat sangat kaya sekali). Menjadi kaya adalah sebuah kebutuhan yang muncul dari berbagai sebab, bisa karena tidak ingin miskin ataupun karena ingin mendapatkan apa yang kita inginkan dengan menjadikan kekayaan sebagai faktor pendukung utamanya.

---Menjadi miskin memang bukan sebuah aib, cuma saja ia tidak menyenangkan----

Maka kita semua berusaha lepas dari kemiskinan atau perasaan miskin dengan berbagai cara mulai dari bekerja keras, berdoa, mencari peluang baru, hingga melakukan korupsi, mencuri, manipulasi, dll,dsb etc...


Orang yang benar-benar miskin tidak punya jalan lain kecuali terus dan terus mencari uang (entah dengan cara apa), sementara yang (kaya) tapi merasa miskin juga terus memperkaya diri dengan cara apapun. Jadi jika sikap skeptis kita benar bahwa si kaya akan semakin kuayaa dan yang miskin akan semakin miskin, maka jelaslah bagi kita bahwa kemiskinan semakin mengerikan. Program pemerintah yang lebih banyak bersifat basa-basi dalam menghapuskan kemiskinan tergilas habis oleh kapitalisme yang terbungkus oleh kebijakan pemerintah sendiri. Mengenaskan!!!

Sesudah memporak porandakan desa, kemiskinan menginvasi kota, dari sudut-sudut gelap kota hingga ke setiap jengkal tanah kosong disekujur kota dihuni oleh para korban kemiskinan. Bahkan dengan kebberadaan mereka yang begitu dekat dengan kita, orang-orang masih bertanya apakah itu kemiskinan (Mungkin karena mereka tidak miskin ^_^). Dari berbagai seminar, dari berbagai pertemuan para ahli (yang jelas tidak miskin) dan aneka rupa tetek bengek lainnya, definisi kemiskinan masih belum juga jelas bagi mereka. Hal ini terbukti dari masih simpang siurnya penentuan kriteria miskin dalam penyaluran bantuan ataupun dalam hal pendataan oleh pemerintah.

Saya rasa kita semua setuju bahwa kemiskinan bukan sekedar tidak memiliki harta atau mempunyai lebih sedikit dari yang lainnya. Kemiskinan juga bukan sekedar masalah nasib, karena didunia ini kita tidak hanya menyadongkan tangan ke atas dan "diberi" kemudian menjadi yang "beruntung" sedang yang tidak diberi menjadi yang "tidak beruntung". Hidup adalah perjuangan, dan bukan sekedar "nrimo ing pandum" (menerima apa yang diberikan : Jawa), bukan sekedar menerima atau nrimo tapi mencari, berusaha, berjuang, dan bukankanh Tuhan juga mengijinkan kita untuk berdoa meminta kepada-Nya dan bukan sekedar menerima?.

Menjadi kaya juga bukan sekedar masalah untung-untungan, banyak unsur yang mempengaruhi mengapa seseorang, atau segolongan orang atau mayoritas penduduk negeri ini menjadi miskin atau tetap miskin. Maka kemudian para ahli-ahli ilmu pengetahuan yang tidak miskin lantas merumuskan pemahaman mengenai kemiskinan struktural.

Dan setelah masalahnya dirumuskan dengan meyakinkan , dibantu berbagai data, statistik, tabel dan lain-lain maka kita pun mulai melupakan kemiskinan, mungkin karena kita merasa telah berbuat sesuatu untuk kemiskinan. Padahal kemiskinan ini masih membaelit sendal jepit Pak Presiden, para menteri, anggota dewan yang terhormat, gubernur, walikota, bupati dan seterusnya, meskipun sebenarnya mereka ini hidup pada keadaan yang nyaris tak pernah tersentuh kemiskinan.

"Hanya orang miskin yang ingat pada kemiskinan" demikian kata orang bijak. Jadi adalah hal yang "wajar" jika para penggede negara ini lupa dengan kemiskinan, dan kalau orang kaya di masyarakat kita tidak peduli dengan orang miskin, ya mungkin itu memang sudah "kodrat kulturalnya".


<=======================^_^===========================>


Seringkali dalam promosi MLM atau hal-hal lain yang bersifat "dapat memberikan keuntungan dalam sekejap" sering dijanjikan adanyua kebebasan finansial, kebebasan yang dimaksudkan disini lebih ditekankan pada ketercukupan materi. Padahal ketercukupan materi bukanlah segalanya, sebab materi tak pernah membuat orang merasa cukup. Bahkan menurut Gandhi "Accumulation of wealth is accumulation of sin"


Lantas apakah kita tidak boleh kaya?


Boleh, bahkan kaya raya pun boleh, tapi jangan bersikap miskin karena dengan begitu kau jadi mengingkari berkah Tuhan, seolah-olah Tuhan tidak pernah memberkahimu sehingga menjadi kaya seperti itu. Tumpukan kekayaan menjadi kumpulan dosa karena jiwa miskin kita yang mengajak ingkar. Urusan kaya miskin adalah soal jiwa, sedangkan jiwa bukan hanya soal "rasa" tapi juga sikap, cara pandang, dan juga segenap tingkah laku yang kita refleksikan dalam hidup.


Jadi kebebasan bukan melulu soal finansial atau uang belaka, tapi lebih kepada soal jiwa. Karena itu dalam hidup saya ingin berjuang mencari 'kebebasan' agar tidak terjajah oleh kekayaan dan tak cemas akan ancaman kemiskinan. Tanpa kebebasan menjadi kaya tak ada artinya. Apalagi menjadi miskin.

Eh, omong-omong sampai saat ini saya masih belum merasa kaya, apakah karena saya miskin harta atu miskin jiwa ya?
Jawab hati saya "Masih keduanya, Mas"

02 November 2006

Maaf

Puasa berakhir, bukan dengan kemenangan diri
tapi dengan kesediaan berbagi.

Meminta maaf, bukan agar dosa dihapuskan
tapi karena dosa diakui.

Memberi maaf, bukan karena keluhuran budi
tapi karena kita terlalu fana untuk menghakimi

Di Idul Fitri ini, semoga kedaifan kita temukan kembali


Kata-kata diatas saya cuplik dari surat kabar Jawa Pos, kalau tidak salah penulisnya adalah Goenawan Muhammad. Yup, lebaran baru berlalu beberapa hari, masih banyak orang-orang yang saling bersalaman, masih banyak acara halal-bihalal diadakan, masih ada acara-acara silaturahmi, tapi apakah ini benar-benar sebuah acara saling maaf-memaafkan ataukah sekedar acara formalitas belaka tentu diluar pengetahuan saya.

Begitupun apa yang saya rasakan, seringkali buat saya acara salam-salaman, kegiatan saling mengucap mohon maaf lahir dan bathin, justru sekedar menjadi sebuah basa-basi belaka. Kadang hal itu terjadi karena baru saja kita saling bermaafan sudah ada kesalahan baru, baik salah ucap, ataupun ada tindakan yang membuat saya tersinggung kembali, atau bisa juga karena saya merasa ini hanyalah sebuah permohonan maaf satu arah. Maksudnya, saya minta maaf kepada seseorang sedangkan orang tersebut tidak meminta maaf pada saya, entah karena dia merasa tidak punya salah ataupun karena masalah senioritas.

Saya sadar bahwa memaafkan bukan sekedar ucapan, tapi saya masih sering merasa tidak ikhlas memaafkan seseorang. Masih sering mengingat kesalahan mereka yang telah lama berlalu, masih sering merasa marah kepada seseorang karena kesalahan yang telah berlalu. Dan saya juga merasa bahwa orang lain mungkin juga belum benar-benar memaafkan saya.




Maaf memang bukan cuma sekedar kata.

25 October 2006

Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Bulan puasa sudah berakhir beberapa hari yang lalu, ditandai dengan hadirnya hari Idul Fitri. Semoga hari ini bukan cuma sekedar kemenangan bagi diri tapi juga sebuah kesempatan untuk memperbaiki dan membenahi hati. Dan di saat yang baik ini saya ingin mengucapkan maaf dan juga memaafkan, dan semoga kita bisa saling memaafkan.




Seiring dengan waktu yang bergulir

sesekali terselip khilaf diantara kita,

pun terkadang ada yang salah pada ucap, hati dan laku diriku

semoga di saat yang baik ini

diampunkan dosa diantara kita

dikuatkan iman dan dilimpahkan berkah bagi kita keluarga, teman

dan segenap manusia di penjuru bumi ini


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H

12 October 2006

Puasa dan penderitaan

Sewaktu saya masih di sekolah dasar saya ingat bahwa para guru sering berkata bahwa kita berpuasa selain untuk beribadah juga supaya kita bisa ikut merasakan apa yang dialami oleh orang-orang yang tidak mampu, penderitaan kaum fakir dan miskin dalam menahan lapar dan dahaga. Pada waktu itu semua anak ya cuma bisa manggut-manggut, mereka yang kebanyakan berasal dari keluarga menengah keatas (saya termasuk menengah kesamping) merasa bahwa dengan berpuasa mereka bisa sama menderitanya atau setidaknya ikut merasakan laparnya mereka yang kurang mampu.

Beberapa waktu yang lalu di salah satu televisi hal ini dibahas kembali, bahwa puasa sebagai sebuah upaya untuk ikut berempati dalam merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Yang saya lihat, para bapak-bapak yang berbaju koko, kelimis dan tampak gagah itu manggut-manggut, sedang para ibu-ibunya yang cantik dan tampak anggun dibalut jilbab yang berwarna putih-putih ikut manggut-manggut juga.

Saya yang mendengarkan melalui televisi ingin ikut manggut-manggut juga, tapi kemudian saya tunda acara manggut-manggut itu karena muncul pertanyaan-pertanyaan di kepala saya. Apa betul begitu ya? Apakah saya (dan mereka yang di televisi itu) bisa ikut merasakan, apakah kita bisa mengalami perasaan yang sama untuk kemudian berempati terhadap para kaum fakir dan miskin. Pertanyaan ini muncul karena saya, dan mungkin juga anda, berpuasa dari pagi hingga ke sore hari dimana terdapat batas waktu yang menandakan dimulai dan diakhirinya puasa kita, sehingga kita tahu kapan lapar dan dahaga kita berakhir. Ketika maghrib menjelang kita mungkin sudah tahu dengan apa kita akan berbuka, atau bahkan mungkin sejak siang kita seudah menyiapkan berbagai penganan untuk berbuka (seringkali bahkan sedikit berlebihan).

Sementara itu mereka yang tak seberuntung kita mungkin harus berpuasa tanpa tahu kapan bisa berbuka, tanpa tahu dengan apa mereka akan berbuka, dan entah sampai kapan mereka masih bisa menahan lapar dan haus mereka. Saya jadi ingat pada sebuah cerita tentang seorang tukang becak di bulan puasa, beginilah ceritanya:


Siang hari itu saya baru pulang dari sebuah kegiatan di kampus saya, meski telah lewat dari tengah hari mentari masih cukup terik untuk membuat saya lebih memilih naik becak daripada jalan kaki. Setelah memberitahu alamat dan tawar menawar harga saya segera naik, pikiran saya langsung melayang pada menu berbuka nanti sore, seingat saya tadi pagi ibu bilang mau membuat es buah untuk berbuka, (pasti seger banget) apa lagi ditambah dengan rendang yang akan kami santap sepulang tarawih. tiba-tiba lamunan saya terganggu, ada bau pisang goreng menusuk-nusuk hidung saya, ternyata si bapak penarik becak sedang makan pisang goreng dengan lahapnya. Setelah habis satu buah diambilnya sebuah lagi dari tas kresek hitam yang tergantung di becaknya.

Melihat hal tersebut langsung saja alis saya berkerut, dalam hati saya menggerutu "Memangnya tukang becak ini nggak tahu apa kalau sekarang sedang puasa". Mulanya saya tanya baik-baik " Pak, bapak tahu kalau ini bulan puasa pak?" "Ya tahu" sahutnya sambil tetap mengunyah pisang gorengnya, terang saja saya jadi jengkel "Bapak nggak puasa ya?, kalau nggak puasa jangan makan siang-siang gini pak" Eh dia malah tersenyum. Kemudian setelah dia menelan kunyahan terakhirnya, dia ganti bertanya "Kamu puasa?" "Ya iyalah pak" jawab saya ketus, tapi rupanya dia tidak terlalu memppedulikan keketusan saya. Dengan entengnya dia bilang "Saya juga puasa dik" hampir saja saya membuka mulut untuk menyanggah "Puasa kok makan, siang-siang lagi", dilanjutkanlah kata-katanya "...tapi agak beda sama adik, kalau adik pagi sahur dan sorenya buka, kalau saya nggak tahu kapan bukanya" sambil mengelap mulut dengan handuk kumalnya diteruskan ceritanya "Pisang goreng tadi itu makanan pertama saya dari dua hari kemarin" dengan setengah tidak percaya dan malu saya langsung tertunduk. "Saya tiap hari puasa dik, kalau pas ada duit buat beli makan ya buka, kalau nggak ya puasa terus" hingga akhirnya ketika tiba di depan rumah saya membayar dengan duit lebih "Kembaliannya buat beli makan aja pak" kata saya. "Makasih ya dik" jawabnya sambil berlalu, dan saya masih malu, bukan hanya karena telah sok menggurui tentang puasa tapi juga saya cuma bisa memberi sedikit uang atas pelajaran yang saya terima siang ini.


Dari cerita tadi mungkin kita bisa sedikit melihat pada diri kita sudah seberapa besar hikmah yang kita dapat dari puasa. Apakah puasa telah membuat kita bisa berempati? Berempati secara bahasa berarti 'Suatu keadaan mental yang membuat seseorang merasa dirinya dalam keadaan perasaan yang sama dengan orang atau kelompok lain' atau secara lebih mudahnya apakah kita sudah bisa ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Puasa selain mengajarkan tentang beratnya menahan lapar dan dahaga juga mengajarkan kita kebahagiaan ketika berbuka. Setelah beberapa waktu merasakan lapar dan dahaga, makanan dan minuman yang masuk keperut kita menjadi sebuah kenikmatan yang istimewa. Jadi mari kita bertanya apakah cukup dengan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung ataukah kita mau berbuat sesuatu agar merekalah yang bisa ikut merasakan kebahagiaan yang kita rasakan.

09 October 2006

He he ^_^





Lantas apa warna api?

Hitam dan putih adalah dua warna yang menjadi sebuah perlambang dari banyak hal. Hitam dan putih adalah warna mutlak, tidak ada hitam keputihan atau putih kehitaman, hitam adalah hitam dan putih adalah putih. Campuran keduanya berapapun komposisinya adalah kelabu, bukan hitam juga bukan putih. Karena sifat itulah maka hitam dan putih juga melambangkan sebuah pertentangan abadi, sebuah kontradiksi, sebuah keadaan yang saling bertentangan, saling berlawanan satu sama lain. Hitam adalah warna kegelapan, sebuah warna yang melambangkan ketiadaan cahaya, maka hitam juga menjadi simbol bagi kematian, kejahatan dan berbagai hal buruk. Sebaliknya putih adalah perlambang dari cahaya, sebuah warna yang dianggap murni, suci, bersih. Kontradiksi antar kedua warna inilah yang juga menjadi perlambang antara pertentangan abadi antara kebaikan dan kejahatan.Bisa kita lihat baik dalam film atau buku cerita yang bercerita tentang kebaikan dan kejahatan, biasanya cerita berakhir dengan kemenangan si baik dan kekalahan si jahat. Kemudian kita mengenal golongan hitam dan golongan putih, ilmu hitam dan ilmu putih, dan masih banyak lagi penggolongan berdasar hitam dan putih.

Dalam hidup kita juga menjadi terbiasa untuk menilai sesuatu dengan hanya dua kemungkinan, baik atau buruk dimana kemungkinan yang satu meniadakan kemungkinan yang lainnya. Sesuatu yang kita sukai sering kali kita nilai baik bahkan meski ada keburukan atau kekurangan pada hal tersebut, sebaliknya hal bila kita menganggapnya buruk maka semua kekurangannya akan tampak, sampai-sampai semua kebaikannya dianggap tiada.

Mungkin kita lupa bahwa kita semua adalah manusia, bisa berbuat baik dan bisa juga khilaf dan berbuat salah. Mungkin kita juga telah lupa bahwa kita sebagai manusia tak mungkin terlukis sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih. Dan yang lebih penting lagi bahwa kita, dunia kita, hidup kita, dan semua hal disekitar kita tidak hanya terdiri dari hitam dan putih, mereka semua adalah kumpulan dari berbagai warna.

Bila anda hanya bisa melihat hitam dan putih lantas apa warna api?

07 October 2006

Menjadi Pendengar

Anda bisa menemukan puluhan, ratusan atau bahkan mungkin ribuan buku dan artikel tentang bagaimana menjadi seorang pembicara yang baik, tentang tehnik berbicara, dan masih banyak lagi, bahkan jika anda membaca buku tentang berkomunikasi maka kebanyakan hanya membahas tentang cara berbicara. Berbicara memang sebuah hal yang penting, untuk menyampaikan ide atau isi pikiran kita kita dituntut untuk bisa berbicara dengan baik.

"Berbicaralah yang lantang agar engkau didengar"

Betulkah slogan diatas? bagaimana jika kita rubah sedikit

"Dengarlah, agar engkau didengar"

Ehmmm.... bagaimana? Mungkin terasa sedikit aneh pada awalnya, tetapi bukankah ini masuk akal ^_^ Coba bayangkan jika anda adalah seorang manajer yang memimpin suatu kelompok karyawan, anda gemar berbicara mulai tentang program kerja anda, visi, misi, target dan segala macamnya, tapi anda jarang atau tidak pernah mendengar mereka, keluhan mereka, usul mereka, uneg-uneg mereka, apakah mereka masih akan mendengar anda? Atau kita ambil contoh yang lebih nyata saja, perhatikan para pejabat kita yang tidak pernah mau mendengar suara rakyatnya apakah kata-kata mereka didengar? apakah himbauan mereka dipedulikan? Anda sudah tahu jawabnya.

Kita (umumnya) memang lebih senang berbicara, kita ingin didengar tapi jarang mau mendengar. Yang saya maksudkan disini adalah mendengar dalam arti benar-benar mendengar, bukan sekedar mendengar yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Mendengar bukan cuma pekerjaan fisik tapi juga butuh campur tangan hati dan otak, jadi di posting kali ini saya ingin sedikit berbagi tips tentang menjadi pendengar yang baik.

Pertama adalah sikap tubuh anda,bahasa tubuh anda menunjukkan ketertarikan, perhatian dan kepedulian anda terhadap hal yang anda dengar dan sekaligus kepada si pembicara.
Sikap tubuh yang baik adalah :

- Mengarah atau menghadap kepada si pembicara.
- Pertahankan tatapan mata (eye contact)
Mempertahankan eye contact bukan berarti terus menerus memandang si pembicara (hal ini mungkin membuat dia tidak nyaman) tetapi tetap beri perhatian kepadanya dan jangan sampai anda memandang kosong.

- Hindari hal-hal yang mengganggu perhatian atau konsentrasi anda
Bila anda sedang mengerjakan atau berkonsentrasi pada suatu hal sebaiknya hentikan salah satunya.


Selain sikap tubuh hal yang lebih penting adalah bagaimana anda bersikap terhadap bahan pembicaraan dan tentunya juga si pembicara sendiri.

- Cobalah untuk memahami apa yang ingin diungkapkan oleh si pembicara.
- Jangan terburu-buru menyetujui atau menolak gagasan si pembicara, cobalah untuk memahami apa yang dipikirkan olehnya
- Jangan memberi tanggapan sebelum anda dapat mengendalikan diri anda, pikirkan matang-matang apa yang akan keluar dari mulut anda
- Buka pikiran anda, ambil setiap informasi yang masuk. Jangan terlalu cepat menjustifikasi (mengadili ) suatu masalah hanya karena anda merasa tidak sesuai


Setelah si pembicara mengungkapkan isi pikirannya, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan tanggapan, pendapat atau pandangan anda. Tapi ingat perhatikan baik-baik si pembicara apakah dia ingin dikomentari ataukah dia sekedar ingin didengar. Kadang ketika kita bisa menumpahkan perasaan kita (curhat) kepada seseorang sekedar didengar sudah cukup baik. Dan satu lagi, tunjukan sikap dan pandangan anda tanpa membuat si pembicara merasa dihakimi, anda tidak sedang menjadi hakim kan ^_^

Foto-foto pas di Arjuna



Ini merupakan peta kontur dari gunung Arjuno





Kita berada diatas awan!!! l




Ini foto bareng dengan mereka yang udah minjemin kita tenda ^_^






Di Puncak Brrrr.....





Di tengah kebun teh, sepulang pendakian






Yang dipuncak lagi...






negeri diatas awan *_*






Sunrise





Sunrise juga....

Perjalanan Naik Gunung Arjuna Part II

Sudah baca gunung Arjuna Part I ?
Kalau belum ya silahkan baca dulu, kalau sudah, ini lanjutannya



Tiba di Lawang kami masih harus menempuh beberapa kilometer lagi menuju daerah kebun teh Wonosari atau pos awal pendakian Gunung Arjuna. Mas Bibit sendiri cuma bisa mengantar kami sampai disini sebab dia langsung kembali ke kampus buat ujian. Suasana disini benar-benar membuat hati tenang, segar, nyaman sekaligus membuat kita merasa diundang untuk bercengkerama dengan alam. Sulit buat saya untuk menggambarkan suasananya, tapi saya coba deh, awan yang sedikit kelabu berarak perlahan, kabut tipis yang tertiup angin sejuk membawa bau rumput dan wangi aroma daun dan bunga teh. Mungkin polusi belum menyentuh daerah ini, kepulan knalpot motor yang cuma beberapa, asap dapur rumah-rumah penduduk langsung termurnikan oleh jutaan daun disini. Coba deh anda kesana dan silahkan tarik nafas dalam-dalam, isi paru-parumu dengan kesegaran yang tidak akan kamu dapatkan di kota (semoga kalau anda kesana sekarang anda masih bisa merasakan suasana yang sama).

Sementara saya sedang mengisi buku laporan pendakian di pos PHPA, teman-teman cowok mengisi air, mentah tentunya, dan yang cewek merapikan packing. Pada waktu mengisi buku pendakian itu ada satu hal yang menarik saya, saya adalah ketua rombongan termuda di buku tamu itu ^_^ konyol ya?. Setelah selesai dengan segala tetek bengek macam air minum, cemilan, jas hujan atau poncho, de el el kami berdoa bersama semoga sukses, dan dengan segala semangat yang ada kami berangkat. Titik awal tujuan kami adalah sebuah bangunan terbuka berlantai semen dan beratap seng yang terletak ditengah-tengah kebun teh. Sambil mulai berjalan saya mulai mengatur urutan kelompok kecil ini, dengan saya berada paling depan, Uu' di tengah dan Dibyo paling belakang, mungkin anda bertanya lantas cowok yang satu lagi dikemanakan, sama, dia juga bertanya begitu. "Mas, lha aku gak dihitung?", entah karena pikiran yang lagi banyak atau memang pada dasarnya saya sendiri kurang 'pas' dengan dia, selama perjalanan itu saya lebih sering cuek ke dia. Salah satu kejelekan saya memang, yah meskipun sekarang sudah sedikit berkurang (dikiiit...lho)

Beberapa menit kemudian kita sampai di bangunan tersebut, istirahat juga meski belum capek, toh baru beberapa ratus meter kami melangkah. Sholat, makan cemilan, ngobrol-ngobrol, dan perjalanan kembali berlanjut. Tengah hari sudah lewat tapi awan tipis masih berarak pelan menutupi panasnya matahari, cerah tapi sejuk, cuaca yang pas mengiringi kami menyusuri jalan setapak ditengah-tengah kebun teh. Tujuan kami berikutnya sudah terlihat mata, kumpulan pepohonan dengan ketinggian sedang. Dari kejauhan warna daun-daunya berpadu dengan warna tanah yang kemerahan terlihat kontras dengan warna batang pohonnya yang coklat terang.

Memasuki daerah pepohonan ini jalanan mulai menyempit, bila tadi di kanan kiri kami adalah pepohonan teh yang setinggi pinggang maka sekarang disisi kami adalah batang dan ranting pohon, lumayan, cukup membantu kami dalam mengatasi licinnya jalan setapak ini. Musim penghujan memang memberi keuntungan dengan jaminan bahwa akan ada cukup air, tapi hujan juga yang melicinkan jalan setapak yang sebagian besar komposisinya adalah lempung ini. Licinnya jalan rupanya bukan gangguan besar buat kami, yang ada justru perasaan seru. Eh tapi kok semakin jauh berjalan tubuh saya terasa makin berat, ditambah panasnya mata dan rasa ngantuk yang menghentak-hentak kepala membuat saya memutuskan untuk berhenti sejenak. Carrier yang sebagian besar berisi air dengan berat sekitar 20kg rupanya kurang cocok buat saya pada saat itu, untungnya, sekali lagi untungnya ada dua orang cowok yang bisa diandalakan di kelompok saya (dalam soal makan dan kekuatan meraka memang handal ^_^).

Uu' : Abot Tip? Wis ben Dibyo sing nggawa!
(Berat Tip?, Udah biar dibyo yang bawa)
Dibyo : Ayo!!
Uu' : Wahaha dibyo..!! Sip Byo!
Dibyo : Matamu, gantian iki

Dengan disemangati oleh para adik-adik, Dibyo langsung memanggul carrier tersebut, sedang saya sendiri ganti membawa carrier Dibyo. Perjalanan berlanjut dengan komposiosi yang sudah berubah. Dibyo paling depan saya paling belakang dan Uu' di depan saya. Setelah mengisi perut dengan air dingin, rasanya kepala jadi enteng kembali mata pun jadi lebih segar, apalagi beban berkurang kaki jadi lebih ringan melangkah. Setelah kurang lebih satu jam kami berjalan daerah yang kami lalui mulai melebar, pepohonan mulai jarang dan punggungan bukit mulai terlihat jelas. Berhenti sejenak saya mencoba mencocokkan peta kontur yang ada, dengan mengambil acuan kepada daerah tempat kami berangkat saya mencoba mencari lokasi kami berada. Diputar, dibalik, bidik lagi dengan kompas, hitung back azimuthnya, lha?? kok tidak ketemu juga. Akhirnya sesuai kesepakatan bersama bahwa puncaknya Gunung arjuno pasti ada 'diatas' jadi perjalanan kami lanjutkan dengan mengikuti jalan setapak. Kalau anda mempertanyakan kegunaan peta kontur yang kami bawa saya cuma bisa bilang bahwa "peta itu berguna".

Daerah punggungan yang cukup landai dan banyak ditumbuhi rerumputan ini kalau tidak salah termasuk kawasan daerah Oro-oro Ombo yang memang sering dijadikan tempat untuk berkemah. Sambil beristirahat kami merundingkan apakah kami akan melanjutkan perjalanan pada malam hari ataukah akan mendirikan bivak dan menunggu esok pagi. Dengan pertimbangan bahwa tidak ada seorangpun yang pernah mendaki disini dan ditambah lagi dengan jumlah anggota cewek yang lebih banyak maka kami memutuskan untuk bermalam terlebih dahulu dan mencari tempat yang tepat untuk mendirikan bivak. Baru beberama menit berlalu mendung yang tadinya masih cukup tipis tiba-tiba menjadi semakin pekat, tebal dan tampak semakin berat. Kebetulan di depan ada tempat yang cukup landai, luas dan relatif mudah sebagai tempat pendirian bivak. Tepat pada saat saya hendak menurunkan carier tetes air hujan mulai berjatuhan, segera saja kami semua mengeluarkan pocho, mengeluarkan tali rafia, menyambungnya, sayangnya awan gelap diatas sudah tidak sabar menumpahkan isinya, akhirnya kami langsung saja berkumpul di bawah ponco dengan para cewek ditengah dan para cowok di keempat ujungnya. Hujan masih terlalu deras untuk mendirikan bivak, dan meskipun kehujanan adalah hal yang lumrah kami tetap kurang suka melewatkan malam dengan baju basah kuyup.

Setengah atau satu jam kemudian hujan mulai reda, kamipun segera mempersiapkan pendirian bivak, mencari kayu penyangga bivak, menyambung poncho, membuat selokan, merapikan carier dan masih banyak lagi. Meski begitu banyak pekerjaan yang mesti dibereskan toh kami masih bisa membuang waktu untuk berccanda, bekerja sambil tertawa dibawah langit terbuka seperti itu memang selalu menyenangkan. Inilah yang namanya kebersamaan, kekompakan kerjasama atau team work, untuk merasakan yang seperti ini nggak harus di acara-acara outbound yang serba mahal, naik gunung bersama teman pun bisa.

Masalah berikutnya adalah model bivak seperti apa yang akan kami buat, mulai dari model segitiga, trapesium, atau aneka rupa model lain, dan disini hujan yang sesekali deras ikut membantu kami dalam memutuskan model mana yang terbaik. Setiap kali bivak kami selesai berdiri hujan menunjukkan kelemahannya kepada kami entah dengan guyuran air yang masih menerobos celah bivak kami atau kadang hujan yuang bercampur angin menghujani satu sisi bivak kami dan sesekali menghempasnya hingga roboh. Menjelang senja akhirnya bivak kami bisa berdiri dengan menggunakan model "PN : Penting Ngadhek" (yang penting berdiri), toh bivak ini bisa memberi kehangatan dan perlindungan buat para anggota cewek dan barang-barang lain, kami sendiri para cowok lebih memilih (karena tidak ada pilihan lain) untuk menggelar matras di depan bivak. Dengan bersandar pada tumpukan tas kami bergeletakan diatas matras. Maghrib, berarti waktunya Ishoma, istirahat, sholat, makan, istirahat itu gampang toh semalaman ini kami cuma akan bergeletakan, jadi sholat dulu dan disusul dengan makan. Entah kenapa pada waktu mengadakan perjalanan seperti ini saya jadi lebih sering sholat, mungkin karena saya merasa takut, merasa benar-benar butuh pertolongan, mungkin....

Makan, meski berulang kali naik gunung rasanya menu makan selalu tidak jauh berbeda, hampir pasti selalu mie (dengan atau tanpa e), mulai dari indomi, supermi, sarimi dan sebangsanya tapi ya selalu asik, seru, dan entah kenapa kok enak juga. Mi yang dimasak di sebuah nesting eh rantang diatas kayu yang dipaksa menyala setelah disiram minyak tanah berulang kali kemudian disantap beramai-ramai. Suhu yang dingin membuat menyantap mi seperti ini makin nikmat, apalagi satu nesting disantap bersembilan tambah syiiippp......

Habis makan kami para cowok duduk-duduk di matras depan bivak, sambil bersandar kami menikmati pemandangan malam di arah kota Malang. Benar-benar menakjubkan, kerlip lampu dari kota malang sakan membaur dengan kerlip bintang di langit, horizon sudah tidak tampak, keren banget!!!! Dan kita seneng banget waktu di langit banyak bintang soalnya selain kelihatan keren hal itu juga berarti langit sedang cerah dan malam itu tidak akan ada hujan.Dan juga karena sepanjang sore tadi hujan telah diguyurkan habis-habisan malam ini suhu menjadi lebih hangat dan tidak ada kabut. Eh saya sempat melihat bintang jatuh lho*_*

Mungkin karena musim liburan, malam itu cukup banyak pendaki lain yang melintas baik yang berombongan maupun yang seorang-seorang, mereka menyapa kami sambil lewat atau sekedar berbasa-basi sambil sejenak mengistirahatkan kaki. Kemudian para anak-anak cewek ikut memenuhi matras yang cuma dua helai tersebut dan semakin ramailah suasana. Hingga kami beranjak tidur tidak banyak yang bisa ditulis disini, kegiatan kami lebih banyak diisi dengan bercanda, ngobrol, bikin tebak-tebakan garing, sampai akhirnya para cewek masuk ke bivak dan kami tidur di luar. Oh iya sebelum tidur saya sempat bikin tempat untuk menampung tetesan air embun dan air resapan hujan dari rantang dan cover carrier yang kedap air.


Menjelang pagi hujan turun lagi, waktu sekedar gerimis saya masih cuek, tapi kemudian makin deras dan makin deras lagi. Langsung saja dengan teriak-teriak, sepak sana sepak sini, para penghuni bivak dipaksa untuk memampatkan diri, pokoknya dengan cara apapun kami semua harus bisa berada di dalam bivak. Dengan segenap daya dan upaya akhirnya bisa juga berlindung dari terpaan hujan meski masih banyak tetes air yang menerobos lewat celah poncho. Akhirnya kami tetap terjaga hingga hujan reda saat menjelang subuh.

Setelah makan pagi (mie juga) dilanjutkan dengan membongkar bivak, packing ulang, dan perjalanan diteruskan. Setelah beeberapa waktu tubuh mulai terasa hangat, langkah pun mulai semakin cepat. Medan yang dilintasi kebanyakan berupa padang rumput, beberapa semak dan perdu, dan jalannya semakin menanjak. Dengan mengambil jalur yang lebih bersahabat kami sedikit berputar-putar melalui beberapa perbukitan, beberapa kali bertemu dengan beberapa grup pendaki lain baik yang sedang sama-sama akan menuju puncak maupun yang sudah kembali turun. Ketika kami mulai memasuki daerah perbukitan yang banyak ditumbuhi pinus jalan menjadi semakin menanjak, bahkan di tempat ini Dibyo dan Uu sempat nekat bertelanjang dada, untungnya saya masih cukup waras untuk tidak ikut-ikut mereka, akhirnya hal itu mereka hentikan sendiri waktu ada grup pendaki lain yang turun yang kebetulan juga mengandung cewek.
"Mas kepanasen ya?!" "wah mas'e kuat, ga adem mas ya" dan aneka celetukan lain yang membuat mereka akhirnya berbaju kembali ^_^
Perjalanan seperti ini berlangsung selama kurang lebih 5-6 jam hingga tiba ke sebuah dataran landai di mana kami mengadakan acara makan siang (yang juga mie). Dan disinilah dimulainya kemeja flanel saya menjadi sebuah gombal multifungsi, dari menjadi kain pemegang rantang, lap ponco, hingga ke alas tempat duduk, bahkan berhari-hari setelah pulang masih ada bau rumput yang menempel disitu.


Lumayan, perut sudah kembali hangat, kembali kami melangkah meneruskan perjalanan menuju puncak. Hutan yang tadinya lebih banyak didominasi oleh pinus sekarang menjadi lebih heterogen, suasana khas hutan tropis, aneka rupa warna hijau hadir disini, mulai dari dedaunan,lumut, semak dan rumput, hingga ke akar-akar yang menjalar dan menjulur, dingin sekaligus lembab. Hari semakin sore, sementara puncak sepertinya masih cukup jauh, saya mulai ragu apakah kami bisa mencapai puncak sebelum gelap. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan beberapa pendaki yang baru saja turun. Atas saran mereka carrier kami tinggalkan di tepi jalan setapak, sebab menurut mereka lebih baik begitu sebab puncak sudah hampir sampai jadi sebaiknya mengurangi beban dan segera dikebut naik menuju puncak sebelum matahari tenggelam. Setelah ditutupi dengan dedaunan dan dibacakan doa semoga aman dari gangguan para pengganggu (duh..) kami langsung mempercepat langkah menuju puncak.

Mendekati darerah puncak terdapat dataran yang cukup landai meski tidak terlalu luas. Setelah daerah landai tersebut jalur berlanjut dengan jalan setapak yang cukup terjal dan berbatu dengan satu sisi tegak dan sisi lain yang terbuka kami harus mendaki dengan ekstra hati-hati, nyaris tidak ada pegangan apapun kecuali beberapa batu yang sedikit menonjol. Akhirnya dengan saling berpegangan dan beriring-iringan kami berhasil mencapai puncak. Yesssss.....!!!!! (Penuh batu besar-besar)
Karena kami sudah berjanji maka begitu di puncak kami langsung sujud syukur dan berdoa, kemudian foto bareng. Setelah berhenti beberapa waktu kami turun.

Waktu setengah perjalanan menuruni jalan setapak tadi tiba-tiba dari arah bawah beberapa sinar senter mengarah ke kami. Saya pikir mereka iseng sehingga saya langsung berteriak supaya mereka jangan mengarahkan senternya ke kami, dan ternyata saya salah, duh malunya, maksud mereka melakukan itu adalah untuk membantu kami melihat jalan, mungkin mereka tahu bahwa kami tidak membawa senter.

Malu deh ~_~ karena sudah teriak-teriak ke mereka.

Ternyata mereka adalah rombongan pendaki dari salah satu STM di Surabaya, mereka memang bermalam disitu sebab besok pagi mereka akan melanjutkan ke Welirang. Dari dua tenda yang mereka dirikan salah satunya dipinjamkan ke kami, padahal mereka sendiri berduabelas, jadi jelas tidak mungkin mereka tidur dalam satu tenda. Ngobrol-ngobrol sebentar dengan mereka dan saya memutuskan untuk tidur, mereka sendiri ada dua orang yang bergantian jaga sedang kami tidur semua (kami ga sopan ya, sudah numpang, nglunjak lagi). Dan sebuah tenda seluas 1 X 2 meter itu dipenuhi sembilan manusia,(boleh dibayangkan kalau tega) jadi kami semua tidur dengan duduk dan berlipat lipat.

Pagi harinya anak-anak yang lain naik kembali ke puncak untuk memburu matahari terbit atawa sunrise, saya yang sempat dibangunkan, terinjak, tersepak dan akhirnya ditinggalkan untuk dengan bahagia tidur sambil meluruskan punggung saya,

"akhirnya....."

Setelah saya bangun yang benar-benar bangun saya melihat-lihat sekitar, eh ternyata kok jalan setapak yang menuju puncak itu cukup dekat juga. Pas saya mau ikut-ikut naik ke puncak lagi ,malah mereka turun, ya akhirnya nggak jadi, lagipula sunrise sudah lewat. Selain packing barang-barang kami sendiri kami juga bantu-bantu mereka packing, kemudian foto bareng, salam-salaman, nggak lupa ngomong terima kasih dan pamit kemudian kembali turun. Pulang.

Perjalanan pulang kami berlangsung cukup cepat, bahkan kami sempat bakar-bakar ketela yang kami temukan di sebuah pondokan nyaris-semi permanen, disitu juga kami mengisi air di sebuah ceruk diantara bebatuan tebing. Seingat kami, maksudnya saya, Dibyo dan Uu' tidak pernah cerita bahwa didalam ceruk itu ada seekor ular yang mati, selain nggak penting, toh juga nggak ada yang keracunan ^_^. Tidak banyak yang istimewa dalam perjalanan pulang kami kecuali beberapa kali jatuh, menggelinding, foto-foto bareng, yah begitulah, sekitar ashar kami tiba kembali di desa Wonosari. Setelah sholat dan beristirahat kami mulai berjalan menuju Lawang setelah sebelumnya mengisi buku laporan pendakian untuk konfirmasi bahwa kami telah meninggalkan area Gunung Arjuna. Rencananya setelah sampai Lawang kami akan menuju ke kos mas Bibit. Ternyata di tengah perjalanan kami sudah bertemu dengan mas Bibit, dan kembali dengan bergantian kami berboncengan dengan motor menuju ke Lawang dan langsung menuju ke kos mas Bibit.

Malamnya kami beres-beres carier, mencuci sleeping bag, matras rantang dll dsb... malamnya kegiatan persiapan untuk pulang besok pagi, ngobrol, makan, dan tidur. Besoknya kami pulang dengan bus dari Malang turun di Kertosono (kalo ga salah) ganti bis lagi ke Madiun, sampai terminal, telpon mas saya minta dijemput. Setelah sampai dirumah, saya kembali bertugas untuk memulangkan para cewek, Ayu saya antar pulang, saya pamitkan ke bapaknya, eh dia malah langsung mandi (kayaknya sih takut dimarahi), Arin saya antar pulang, bapaknya heran soalnya dikira dia ke malang bukan buat naik gunung, Tere, Anie dan Meira saya antar pulang tanpa masalah. Dibyo dan Uu' memilih untuk menginap dirumah saya dan baru pulang keesokan paginya, yang seorang lagi langsung pulang dengan dijemput ibunya.

Dan berakhirlah perjalanan kali ini.

Ahhhh.....setelah menulis posting ini kok saya jadi pengen naik gunung lagi ya....

03 October 2006

Yeah... Naik Gunung Arjuno Part I

Setelah berkali-kali mem-posting-kan kumpulan kata-kata, akhirnya kali ini kembali posting tentang journey. Tanggal pastinya saya sudah lupa mungkin akhir tahun 2000. Posting kali ini tentang perjalanan ke Gunung Arjuna atawa Arjuno silahkan pilih mana yang lebih cocok untuk lidah anda.

Let the story begin....

Liburan, ehm... saya lupa liburan apa, yang saya ingat saya sudah kelas 3 dan secara kepengurusan OSPA (Organisasi Siswa Pecinta Alam) saya sudah alumni, meskipun para alumni yang lebih tua masih suka berteriak-teriak "kalian ini belum lulus dhek jadi jangan ngerasa kalau kalian ini sudah jadi alumni, ngartiiii...!!!". Rumah (orang tua) saya yang berada di depan sekolah telah menjadi sebuah Base Camp secara alami, bagaimana tidak, jika setiap ada kesempatan (dan itu nyaris setiap hari) mereka selalu berkumpul di rumah saya, ehm lebih tepatnya di gudang rumah saya. Pada suatu ketika adik-adik saya (Generasi XV) ngomong "Mas munggah gunung yuk" (Mas, naik gunung yuk). Lantas apa mau dikata, saya sendiri suka (naik gunung maksudnya, bukan mereka) dan mereka kepengen maka disusunlah rencana.

Pilihan kemudian disusun berdasar kriteria tertentu, harus bisa didaki dalam waktu singkat (setidaknya sehari semalam), ada alumni yang bisa dimintai tolong, diajak ataupun dipaksa untuk membantu, mengenai biaya kami tidak ada masalah selama masih murah (lho..?). Akhirnya ada beberapa kandidat, Merbabu atau Arjuna, pilihan merbabu karena saya sudah pernah mendaki kesana namun akhirnya kesepakatan menjadi Gunung Arjuna. Setelah rencana ada kemudian mengumpulkan peserta, semua anggota Bram's dirayu, di-iming-iming, dibujuk, bahkan diancam agar ikut. Dengan perjuangan mencarikan ijin kepada para ortu, mencari alumni yang mau (dengan paksa) direpotkan untuk menampung kami, mengumpulkan segala daya dan upaya dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan disini, akhirnya berhasil dikumpulkan 9 orang. Dengan komposisi 5 orang cewek dan 4 orang cowok kami siap menuju Malang. Cowok pertama adalah saya sendiri kemudian Julianta-Uu', Dibyo-Crot, seorang cowok Gnr XV (aku lali jenengmu, kalau pengen dimuat kirim via mail ya) dan 5 orang cewek, Anie, Arin, Ayu, Tere, dan Meira.

Berangkat pada pukul 4 pagi kami bersama-sama menuju stasiun dengan Mas Kebo alias Ratomi. Setelah dengan segenap semangat sampai distasiun ternyata tungu punya tunggu kehadirannya tak kunjung tiba Lha..? Uu' kemudian tanya "Mas keretanya telat ya? nyampek jam berapa?" jawab si mas yang ditanya oleh Uu' " mungkin jam 7" Akhirnya pulang lagi ke rumah saya yang berjarak beberapa ratus meter dari stasiun. Eh tanpa dinyana tanpa diduga Uu' dan Dibyo beli nasi pecel, jelas tanpa menunggu ijin maupun instruksi lebih lanjut nasi pecel yang cuma 2 gelintir itupun langsung dihabisi dengan penuh kebersamaan.

Akhirnya suara pengumuman bahwa kereta sudah hadir terdengar, langsung kami berlompatan dan berlari menuju stasiun. Saya sendiri tidak ingat apakah kami terbang atau berlari dan whuzzzz..... tiba-tiba kami sudah nangkring didalam gerbong. Sejak awal kami sudah memantapkan niat dan hati kami untuk dengan segenap jiwa raga naik tanpa beli tiket, nggak baik sih tapi hal seperti ini selalu memberi sensasi tersendiri, dan yang tidak kalah penting adalah lebih irit. Bukannya tidak membayar sama sekali, kami tetap membayar tapi tanpa membeli karcis, curang? oh bukan kami memberi kesempatan kepada pak kondektur untuk memperoleh pendapatan sampingan ^_^. Sementara kami semua berkumpul di gerbong paling belakang untuk memudahkan transaksi, mas kebo lebih memilih duduk di dekat wc (tentu saja dia menyelesaikan masalah karcis dengan caranya sendiri). Karena bantuannya tidak bisa diharapkan akhirnya saya sebagai ketua rombongan (bagaimana lagi, wong saya yang memintakan mereka ijin) memutuskan untuk menghadapi Bapak kondektur dengan sepenuh hati.


PK (Pak Kondektur) : karcis..karcis... mas karcisnya?
Saya : Anu pak, ini pak, orang sembilan
PK : Lho berapa ini? 45 ribu, wah ga bisa mas, nggak bisa mas kalo segini
Uu' : Pak adanya cuma segitu pak
Dibyo : Iya pak, ini anak sekolah pak
PK : Wis...gini aja mas nanti di stasiun depan ikut saya ke kantor

Setelah Pak Kondektur pergi kami sempat rundingan, ketar-ketir juga saya ~_~;. Akhirnya dengan Uu' saya turun mengikuti pak Kondektur, tadinya saya pikir mau disuruh bayar denda atau disuruh turun dengan paksa, yah setidaknya disetrap dengan berdiri diatas satu kaki. Dan yang terjadi jauh diluar dugaan saya, kami berdua masuk kantor pegawai dan disana kami di...tertawakan. Dengan lantang pak kondektur ngomong " He! mau ke Malang orang sembilan bayar 45ribu ha ha ha..." dan yang lain dengan kompak ikut tertawa. "Udah mas sana naik lagi" Dan dengan cengar-cengir kami langsung kabur seraya mengucap terima kasih.

Perjalanan antara Madiun ke Malang berjalan lancar, bercanda, ngobrol, dan kegiatan iseng lainnya menjadi pengisi waktu. Sampai di Malang sekitar pukul 11, langsung disambut Mas Wawan yang lebih sering dipanggil Bibit (itu nama bapaknya lho) dengan temannya, kami dan temannya naik angkota atawa 'Lin' menuju kost mas bibit yang berlokasi di daerah Kertobanyon (eh bener ga mas?). Setelah sampai dan bergeletakan ala kadarnya di kost mas Bibit kami mulai planning, sayangnya mas Bibit langsung mengumumkan bahwa dia tidak bisa ikut karena sedang ujian.

Planning diawali dengan berita bahwa gunung Arjuna yang akan kami daki ternyata tidak cukup ditempuh dalam semalam dengan keadaan kami saat itu, padahal hanya ada dua carrier sedang yang lain hanya membawa tas ransel standar untuk berangkat sekolah duhhhhh.......

Akhirnya setelah menculik perlengkapan mendaki gunung mas Bibit, diperoleh 2 buah sleeping bag, 3 buah carier, kompor lapangan, kompas, peta kontur gunung arjuno, dan sebuah pisau lipat multifungsi (Maksudnya harus bisa difungsikan jadi apa saja). Setelah hardware terpenuhi sekarang tinggal urusan software alias bahan makanan, selain mi instan sebagai makanan pokok kami juga patungan untuk membeli aneka rupa cemilan, coklat blok 2 kg, roti, dan tidak ketinggalan sekitar 30 liter air. Malamnya sehari sebelum keberangkatan kami melewatkan waktu di kost mas Bibit dengan mengumpulkan informasi lebih banyak tentang gunung arjuno, dari sekedar ngobrol soal gunung topiknya berkembang menjadi soal hal-hal horor apalagi pada waktu itu di radio juga sedang ada acara misteri (pake acara melolong dan ketawa cekikikan lagi radionya). Dan sementara yang lain bercanda dan tertawa bareng-bareng, saya justru merasa cemas banget, selain karena sayalah yang akan bertanggung jawab atas keselamatan mereka saya juga bertanggung jawab atas kesuksesan perjalanan kali ini.

Paginya setelah sempat tidur skitar 3 jam (saya masih ngerasa cemas jadi baru tidur menjelang subuh), sholat subuh, mandi(eh...mungkin) sarapan (pasti) dan kemudian packing, leyeh-leyeh (ehm...boleh diartikan bersantai). Sementara yang lain mencari perlengkapan dan perbekalan tambahan saya (seakan-akan) mempelajari peta kontur dan mengumpulkan info yang ada. Akhirnya setelah mas Bibit pulang dari Ujian kita berangkat menuju Lawang.

Dan bersambung ke bagian dua.....

Bulan Puasa

Akhirnya setelah berhari-hari blog ini tak tersentuh sekarang saya mulai posting lagi, entah kenapa kok rasanya akhir-akhir ini otak buntu banget. Banyak hal yang ingin dituangkan, entah menjadi tulisan, gambar, atau benda-benda lain tapi entah kenapa ujung-ujungnya selalu mentok dan saya malah lebih sering menyalahkan keterbatasan perangkat pendukung mulai dari soal rusaknya PC hingga ke masalah keterbatasan dana. Tapi sebelum saya menulis panjang lebar, ijinkan saya menghaturkan permohonan maaf (yang meskipun telat) dalam bulan ramadhan ini.


Seiring dengan waktu yang bergulir sesekali terselip khilaf diantara kita
Pun terkadang ada yang salah pada ucap, hati dan laku diriku,
Semoga dibulan yang mulia ini diampunkan dosa-dosa kita,
dikuatkan iman dan dilimpahkan berkah bagi kita, keluarga kita dan segenap umat muslim di penjuru bumi.

Bulan puasa sudah berjalan sekitar sepertiganya, berbagai hal telah kita lakukan dalam menyambut dan mengisinya. Menu utamanya jelas puasa karena bulan ini adalah bulan puasa, saya sendiri sangat senang berpuasa ^_^ bukan cuma karena perut yang semakin mengembang tapi karena saya sendiri memang sering melewatkan seharian tanpa makan dan minum (meski lebih mudah untuk tidak makan daripada tidak minum). Tapi puasa bukan cuma sekedar menahan makan, minum, dan hal lain yang membatalakannya tapi puasa juga berarti lebih mengendalikan diri, jiwa, nafsu, hati dan pikiran kita. Nah bagian inilah yang menurut saya cukup sulit, bukan sekedar menahan tapi mengendalikan. Godaan seputar urusan perut dan bawah perut tidaklah terlalu menjadi masalah buat saya (toh masih ada malam hari hehe...) tapi menahan marah, mengumpat, dan semacamnya masih menjadi masalah buat saya. Tanpa sadar ketika ada masalah melintas kemarahan tidak lagi ditahan dalam hati, sumpah serapah meluncur begitu lancar, jalan macet, masalah cuaca, orang-orang yang menyebalkan, dan berbagai hal lain menjadi begitu mudah memancing emosi.

Selain soal mengendalikan hati, bulan Ramadhan juga bulan dimana kita bisa mendapatkan sebuah bonus khusus dalam tiap-tiap amalan kita, bisa anda bayangkan bila bernafas atau tidur saja diberi nilai ibadah betapa melimpahnya berkah Allah di bulan ini. Jadi bila kegiatan sehari-hari anda saja menjadi sebuah ibadah lantas bagaimana dengan ibadah itu sendiri?

Barangsiapa melakukan suatu kewajiban pada bulan ini, maka ia sama dengan orang yang melakukan tujuh puluh kali amalan wajib di bulan lainnya." (HR Ibnu Khuzaimah).

Begitu melimpahnya kebaikan yang dijanjikan Allah SWT di bulan ini ternyata masih belum benar-benar 'menyentuh' saya. Sepuluh hari pertama ini ibadah saya masih penuh lubang, sholat tarawih baru beberapa kali saya lakukan, belum lagi sholat 5 waktu yang masih sering terlaksana 80% (maksudnya hanya 4 kali) entah karena ketiduran atau bahkan karena malas. Yah semoga di 2/3 bulan yang akhir saya bisa melakukannya dengan lebih baik.

Ramadhan yang Ramai

Kita, maksud saya bangsa Indonesia, memang suka dan gemar terhadap keramaian, mulai dari menyaksikan hingga melakukan keramaian, mulai dari keramaian semacam menonton (bukan menolong) kecelakaan di jalan hingga ke perayaan-perayaan besar macam hari kemerdekaan, acara keagamaan, dan perayaan-perayaan lain.

Yang saya maksud dengan Ramadhan yang ramai adalah ramai dalam artian yang sebenarnya, mulai dari berjubelnya orang-orang di mall, pasar, atau lubernya mereka di jalanan hingga ke ramainya petasan dan tabuhan bedug di malam hari. Benar-benar ramai (kalau tidak boleh dibilang gaduh atau berisik).

Tempat kost saya berada di sebelah sebuah masjid, dan ini merupakan kedua kalinya tempat kos saya berada tepat bersebelahan dengan sebuah masjid. Seharusnya tidak ada masalah dengan hal ini tapi karena saya bilang seharusnya maka keadaan yang sebenarnya tentulah ada masalah, entah kenapa saya merasa kyurang sreg dengan masjid ini. Selalu ada saja hal-hal kecil yang membuat saya lebih memilih untuk melakukan sholat Jumat di masjid lain atau di bulan ini juga untuk lebih memilih melakukan shalat tarawih di kamar kost saya sendiri. Alasannya aneka rupa, ketidak cocokan dengan ceramah yang diberikan biasanya menjadi alasan saya untuk memi9lih masjid lain, kadang ceramahnya terlalu 'keras' berapi-api, atau terlalu ruwet, kadang juga karena pintu masjid yang sering tertutup, dan yang terakhir adalah riuhnya anak-anak kecil yang menabuh bedug setelah sholat tarawih (buat apa? kalau waktu adzan sih ga masalah).

Gaduh dan berisik menurut saya padahal buat saya setelah selesai sholat adalah waktu yang pas untuk berdoa, dan kalaupun tidak, sekedar duduk dan berkontemplasi (halaah...~_~;) atau merenung dan bukannya melamun, tentu tidak bisa dilakukan dalam kondisi sedemikian, Belum lagi suara petasan atau mercon.

Kemudian saya ingat bahwa sayapun waktu SD dan SMP pun juga meramaikan bulan puasa dengan letusan ataupun dentuman mercon. Begitupun teman-teman saya, seakan di bulan puasa ada sebuah pernyataan tak tertulis tentang kewajiban hadirnya petasan. begitupun pada malam takbiran maka kami akan ikut berkeliling kota, baik dengan mengendarai truk, pick-up, ataupun dengan iring-iringan sepeda motor. Saya sendiri tidak terlalu yakin dengan alasan saya melakukan itu, mungkin untuk ikut meramaikan, merayakan atau mungkin juga sekedar ikut-ikutan teman meluapakan perasaan. Dan saya juga tidak yakin perasaan apa yang saya luapakan, bahagia? syukur? kemenangan? tapi kemungkinan besar hal itu saya lakukan karena itu adalah sebuah kesempatan, untuk beramai-ramai bersama teman, keliling kota, bergembira (atau lebih cocok disebut hura-hura) bersama. Dan saya tetap tidak tahu untuk apa.....

Seperti yang saya tulis diatas, kita memang senang dengan keramaian, tahun baru, malam takbiran, 17 agustusan, dan perayaan lain kita rayakan dengan ramai. Bunyi-bunyian yang memekakkan telinga, raungan iring-iringan kendaraan bermotor, teriakan-teriakan, bunyi ledakan kecil dan besar, dan entah apa lagi. Meramaikan diterjemahkan menjadi kerasnya bunyi, banyaknya orang, dan meluapnya aneka perasaan. Saya sendiri tidak tahu pakah saya yang terlalu skeptis, atau karena saya yang memang bukan penggemar keramaian sehingga saya merasa bahwa perayaan juga bisa dilakyukan dalam suasana yang penuh kedamaian, tenang, hening, ayem. Dan sekali lagi sebuah petasan meledak di depan sana......

12 September 2006

This Night

Recently I feel useless
I don’t know why.
It seems like I want to prove my existence
but I’m afraid of that.
The countdown to tomorrow haunting me
does u feel the same way before?

It feels like something wrong with my body,
but I know the wrong one is my mind.
It’s a contradiction in me;
I need somebody to comfort me while I really need in solitude.
I need to runaway but I’m also waiting for that moment.
And this quote always bang my head, maybe it sound harsh but....

"Even if tomorrow I’m going to die, I wouldn't stop running this night"

I forgot who say it,
but in recent few days I always remember those words,
and it's like a cold wind in my neck.
Keep me awake and not give up, while it also made me afraid of tomorrow.

Already morning now,
I think I got to go home and pray to God,
hoping that my life run smoother.
Wish me luck because life is always a point of no return.

"The warmth of this morning sun, bathe me with your light
The chill breeze this morning wind, blow your breath gently
And those green-green grass, stand up steady and peacefully
Good morning my love, good morning"

Aku berpikir bahwa aku bisa

Saudara kembarku yang terlihat seperti aku
tapi dia tidak terlalu mirip
Lantas mengapa?
Bahkan tali sepatumu kau biarkan tidak terikat
Kamu menatap kosong

Ciuman seekor hyena
yang berbaring menanti kita
Jalan keluar yang menyempit
Aku mempertaruhkan sesuatu yang nyaris mustahil
Aku ingin menikmatinya


Pada sebuah hutan gelap
tanpa siang atau malam
Seekor bunglon pemberani
menatap kompas yang telah dibuang


Kau pergi tanpa sepatah kata
hanya sebuah alasan klise
yang kau torehkan di pintu
'AKU BISA'


Aku menyadari tentang
mimpimu yang tak tergantikan
Sekarang aku tidak bisa lagi membodohi semua orang
Terbangun atau tertidur, aku selalu mengulanginya
'AKU BISA'

Alter Ego

Kalau anda tahu Superman seharusnya anda juga tahu Clark Kent. Ya dua-duanya adalah orang yang sama tapi mereka adalah pribadi yang berbeda, seperti juga kebanyakan super hero lainnya. Sebut saja para jagoan Amrik seperti Batman, Spiderman, atau juga si Hulk. Sebagian besar super hero ini memang menyembunyikan ke-supehero-an nya, entah itu karena tidak ingin membahayakan orang-orang disekitarnya atau karena ingin tetap menjalani kehidupan sebagai manusia biasa, meskipun hampir semua yang melakukannya adalah karena tuntutan cerita ^_^. Eh by the way Suparman bukanlah alter ego dari Superman.

Ternyata alter ego tidak hanya terdapat pada dunia imajiner, pada dunia kita sehari-hari banyak juga orang yang memiliki alter ego. Alter ego atau 'the other I' adalah sebuah keadaan dimana kita baik secara sadar ataupun tidak memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Bila terjadi secara tidak sadar bisa merupakan sebuah masalah kejiwaan, bila terjadi secara sadar mungkin juga bisa mengarah ke masalah kejiwaan. ~_~; Duh... tapi jangan lantas menuduh bahwa mereka ini gila.

Mengenai kepribadian ganda yang terjadi secara tidak sadar tidak usah dibahas disini, bukannya karena keterbatasan saya ^_^, tapi kita semua kan sadar, sekali lagi bukan karena saya tidak paham, kurang mengerti atau tetap tidak bisa menemukan artikel tentang ini setelah gogling selama 2 jam setengah, bukan lho.

Maaf ngelantur, secara sadar berarti kita sengaja berperan ganda atau menjadi beberapa pribadi yang berbeda. Hal ini bisa terjadi bila kita membutuhkan ruang lain dalam kehidupan kita. Mungkin karena kita adalah public figure, mungkin juga karena kita punya profesi yang menuntut kita bertindak seperti itu (polisi, agen rahasia, juragan ganja ^_^). Hal tersebut juga mungkin terjadi tanpa adanya tuntutan khusus, bisa saja terjadi karena iseng.

Seorang teman, sebut saja X (atau boleh anda ganti nama yg anda suka) berniat untuk menjahili ceweknya, kemudian dia mulai kirim-kirim sms dengan mengaku sebagai orang lain. Kemudian hal ini berlanjut semakin jauh, dari sekedar sms kemudian chating, dan diakhiri dengan pertengkaran hebat ~_~. Seorang teman yang lain lagi, boleh disebut Y, punya hobi chating, suatu ketika dia coba-coba pake nick cewek, dan kegiatan ini berkembang diluar dugaan, dia kemudian juga membuat FS (yang tentu saja palsu) dengan foto seorang cewek, membeli sebuah nomor prabayar baru. Dan semua hal tadi dilakukan karena dia sudah terlalu menikmati berperan sebagai seorang cewek, meskipun dalam keseharian dia tetap bersikap sebagai cowok tulen (ngisengin cewek, nonton bokep, dan nggak bersikap mesra dengan cowok lain). Dan tentu saja masih banyak contoh lain.

Alter ego atau kepribadian yang lain kadang diawali dengan tidak sengaja dan berkembang menjadi sesuatu yang serius (adiktif), sebab dengan alter ego seringkali kita mendapatkan apa yang tidak kita miliki sekarang. hal itu bisa berbentuk perhatian dari orang lain, kesempatan melakukan hal baru, melihat dari perspektif yang berbeda, atau kepuasan imajiner atas khayalan kita.

Berbahaya? bisa jadi karena bisa juga menjadi transverse (atau berpenampilan sebagai lawan jenis) atau bisa juga menjadi seorang yang mengalami ganguan kejiwaan karena melakukan hal-hal yang tidak disadari (anda tahu Dr.Jekyl and Mr Hyde). Dalam tingkatan yang lebih rendah mungkin juga bisa terjadi munculnya atau bergabungnya sifat-sifat baru.

Apakah anda merasa memiliki alter ego? Eh saya? ehmmm.... sebenarnya saya seorang super hero tapi saya tidak mungkin memberitahunya pada anda, eh??? anda bilang saya hanya berkhayal, Oh no?!?! saya mulai berbicara sendiri ups maksud saya menulis tentang saya yang bicara sendiri.