25 October 2006

Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Bulan puasa sudah berakhir beberapa hari yang lalu, ditandai dengan hadirnya hari Idul Fitri. Semoga hari ini bukan cuma sekedar kemenangan bagi diri tapi juga sebuah kesempatan untuk memperbaiki dan membenahi hati. Dan di saat yang baik ini saya ingin mengucapkan maaf dan juga memaafkan, dan semoga kita bisa saling memaafkan.




Seiring dengan waktu yang bergulir

sesekali terselip khilaf diantara kita,

pun terkadang ada yang salah pada ucap, hati dan laku diriku

semoga di saat yang baik ini

diampunkan dosa diantara kita

dikuatkan iman dan dilimpahkan berkah bagi kita keluarga, teman

dan segenap manusia di penjuru bumi ini


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H

13 October 2006

Women.....duh









































Gambar-gambar yang lain:

Digital Colouring

Kerajinan tangan

Design ala kadarnya

12 October 2006

Puasa dan penderitaan

Sewaktu saya masih di sekolah dasar saya ingat bahwa para guru sering berkata bahwa kita berpuasa selain untuk beribadah juga supaya kita bisa ikut merasakan apa yang dialami oleh orang-orang yang tidak mampu, penderitaan kaum fakir dan miskin dalam menahan lapar dan dahaga. Pada waktu itu semua anak ya cuma bisa manggut-manggut, mereka yang kebanyakan berasal dari keluarga menengah keatas (saya termasuk menengah kesamping) merasa bahwa dengan berpuasa mereka bisa sama menderitanya atau setidaknya ikut merasakan laparnya mereka yang kurang mampu.

Beberapa waktu yang lalu di salah satu televisi hal ini dibahas kembali, bahwa puasa sebagai sebuah upaya untuk ikut berempati dalam merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Yang saya lihat, para bapak-bapak yang berbaju koko, kelimis dan tampak gagah itu manggut-manggut, sedang para ibu-ibunya yang cantik dan tampak anggun dibalut jilbab yang berwarna putih-putih ikut manggut-manggut juga.

Saya yang mendengarkan melalui televisi ingin ikut manggut-manggut juga, tapi kemudian saya tunda acara manggut-manggut itu karena muncul pertanyaan-pertanyaan di kepala saya. Apa betul begitu ya? Apakah saya (dan mereka yang di televisi itu) bisa ikut merasakan, apakah kita bisa mengalami perasaan yang sama untuk kemudian berempati terhadap para kaum fakir dan miskin. Pertanyaan ini muncul karena saya, dan mungkin juga anda, berpuasa dari pagi hingga ke sore hari dimana terdapat batas waktu yang menandakan dimulai dan diakhirinya puasa kita, sehingga kita tahu kapan lapar dan dahaga kita berakhir. Ketika maghrib menjelang kita mungkin sudah tahu dengan apa kita akan berbuka, atau bahkan mungkin sejak siang kita seudah menyiapkan berbagai penganan untuk berbuka (seringkali bahkan sedikit berlebihan).

Sementara itu mereka yang tak seberuntung kita mungkin harus berpuasa tanpa tahu kapan bisa berbuka, tanpa tahu dengan apa mereka akan berbuka, dan entah sampai kapan mereka masih bisa menahan lapar dan haus mereka. Saya jadi ingat pada sebuah cerita tentang seorang tukang becak di bulan puasa, beginilah ceritanya:


Siang hari itu saya baru pulang dari sebuah kegiatan di kampus saya, meski telah lewat dari tengah hari mentari masih cukup terik untuk membuat saya lebih memilih naik becak daripada jalan kaki. Setelah memberitahu alamat dan tawar menawar harga saya segera naik, pikiran saya langsung melayang pada menu berbuka nanti sore, seingat saya tadi pagi ibu bilang mau membuat es buah untuk berbuka, (pasti seger banget) apa lagi ditambah dengan rendang yang akan kami santap sepulang tarawih. tiba-tiba lamunan saya terganggu, ada bau pisang goreng menusuk-nusuk hidung saya, ternyata si bapak penarik becak sedang makan pisang goreng dengan lahapnya. Setelah habis satu buah diambilnya sebuah lagi dari tas kresek hitam yang tergantung di becaknya.

Melihat hal tersebut langsung saja alis saya berkerut, dalam hati saya menggerutu "Memangnya tukang becak ini nggak tahu apa kalau sekarang sedang puasa". Mulanya saya tanya baik-baik " Pak, bapak tahu kalau ini bulan puasa pak?" "Ya tahu" sahutnya sambil tetap mengunyah pisang gorengnya, terang saja saya jadi jengkel "Bapak nggak puasa ya?, kalau nggak puasa jangan makan siang-siang gini pak" Eh dia malah tersenyum. Kemudian setelah dia menelan kunyahan terakhirnya, dia ganti bertanya "Kamu puasa?" "Ya iyalah pak" jawab saya ketus, tapi rupanya dia tidak terlalu memppedulikan keketusan saya. Dengan entengnya dia bilang "Saya juga puasa dik" hampir saja saya membuka mulut untuk menyanggah "Puasa kok makan, siang-siang lagi", dilanjutkanlah kata-katanya "...tapi agak beda sama adik, kalau adik pagi sahur dan sorenya buka, kalau saya nggak tahu kapan bukanya" sambil mengelap mulut dengan handuk kumalnya diteruskan ceritanya "Pisang goreng tadi itu makanan pertama saya dari dua hari kemarin" dengan setengah tidak percaya dan malu saya langsung tertunduk. "Saya tiap hari puasa dik, kalau pas ada duit buat beli makan ya buka, kalau nggak ya puasa terus" hingga akhirnya ketika tiba di depan rumah saya membayar dengan duit lebih "Kembaliannya buat beli makan aja pak" kata saya. "Makasih ya dik" jawabnya sambil berlalu, dan saya masih malu, bukan hanya karena telah sok menggurui tentang puasa tapi juga saya cuma bisa memberi sedikit uang atas pelajaran yang saya terima siang ini.


Dari cerita tadi mungkin kita bisa sedikit melihat pada diri kita sudah seberapa besar hikmah yang kita dapat dari puasa. Apakah puasa telah membuat kita bisa berempati? Berempati secara bahasa berarti 'Suatu keadaan mental yang membuat seseorang merasa dirinya dalam keadaan perasaan yang sama dengan orang atau kelompok lain' atau secara lebih mudahnya apakah kita sudah bisa ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Puasa selain mengajarkan tentang beratnya menahan lapar dan dahaga juga mengajarkan kita kebahagiaan ketika berbuka. Setelah beberapa waktu merasakan lapar dan dahaga, makanan dan minuman yang masuk keperut kita menjadi sebuah kenikmatan yang istimewa. Jadi mari kita bertanya apakah cukup dengan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung ataukah kita mau berbuat sesuatu agar merekalah yang bisa ikut merasakan kebahagiaan yang kita rasakan.

09 October 2006

He he ^_^





Lantas apa warna api?

Hitam dan putih adalah dua warna yang menjadi sebuah perlambang dari banyak hal. Hitam dan putih adalah warna mutlak, tidak ada hitam keputihan atau putih kehitaman, hitam adalah hitam dan putih adalah putih. Campuran keduanya berapapun komposisinya adalah kelabu, bukan hitam juga bukan putih. Karena sifat itulah maka hitam dan putih juga melambangkan sebuah pertentangan abadi, sebuah kontradiksi, sebuah keadaan yang saling bertentangan, saling berlawanan satu sama lain. Hitam adalah warna kegelapan, sebuah warna yang melambangkan ketiadaan cahaya, maka hitam juga menjadi simbol bagi kematian, kejahatan dan berbagai hal buruk. Sebaliknya putih adalah perlambang dari cahaya, sebuah warna yang dianggap murni, suci, bersih. Kontradiksi antar kedua warna inilah yang juga menjadi perlambang antara pertentangan abadi antara kebaikan dan kejahatan.Bisa kita lihat baik dalam film atau buku cerita yang bercerita tentang kebaikan dan kejahatan, biasanya cerita berakhir dengan kemenangan si baik dan kekalahan si jahat. Kemudian kita mengenal golongan hitam dan golongan putih, ilmu hitam dan ilmu putih, dan masih banyak lagi penggolongan berdasar hitam dan putih.

Dalam hidup kita juga menjadi terbiasa untuk menilai sesuatu dengan hanya dua kemungkinan, baik atau buruk dimana kemungkinan yang satu meniadakan kemungkinan yang lainnya. Sesuatu yang kita sukai sering kali kita nilai baik bahkan meski ada keburukan atau kekurangan pada hal tersebut, sebaliknya hal bila kita menganggapnya buruk maka semua kekurangannya akan tampak, sampai-sampai semua kebaikannya dianggap tiada.

Mungkin kita lupa bahwa kita semua adalah manusia, bisa berbuat baik dan bisa juga khilaf dan berbuat salah. Mungkin kita juga telah lupa bahwa kita sebagai manusia tak mungkin terlukis sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih. Dan yang lebih penting lagi bahwa kita, dunia kita, hidup kita, dan semua hal disekitar kita tidak hanya terdiri dari hitam dan putih, mereka semua adalah kumpulan dari berbagai warna.

Bila anda hanya bisa melihat hitam dan putih lantas apa warna api?

07 October 2006

Menjadi Pendengar

Anda bisa menemukan puluhan, ratusan atau bahkan mungkin ribuan buku dan artikel tentang bagaimana menjadi seorang pembicara yang baik, tentang tehnik berbicara, dan masih banyak lagi, bahkan jika anda membaca buku tentang berkomunikasi maka kebanyakan hanya membahas tentang cara berbicara. Berbicara memang sebuah hal yang penting, untuk menyampaikan ide atau isi pikiran kita kita dituntut untuk bisa berbicara dengan baik.

"Berbicaralah yang lantang agar engkau didengar"

Betulkah slogan diatas? bagaimana jika kita rubah sedikit

"Dengarlah, agar engkau didengar"

Ehmmm.... bagaimana? Mungkin terasa sedikit aneh pada awalnya, tetapi bukankah ini masuk akal ^_^ Coba bayangkan jika anda adalah seorang manajer yang memimpin suatu kelompok karyawan, anda gemar berbicara mulai tentang program kerja anda, visi, misi, target dan segala macamnya, tapi anda jarang atau tidak pernah mendengar mereka, keluhan mereka, usul mereka, uneg-uneg mereka, apakah mereka masih akan mendengar anda? Atau kita ambil contoh yang lebih nyata saja, perhatikan para pejabat kita yang tidak pernah mau mendengar suara rakyatnya apakah kata-kata mereka didengar? apakah himbauan mereka dipedulikan? Anda sudah tahu jawabnya.

Kita (umumnya) memang lebih senang berbicara, kita ingin didengar tapi jarang mau mendengar. Yang saya maksudkan disini adalah mendengar dalam arti benar-benar mendengar, bukan sekedar mendengar yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Mendengar bukan cuma pekerjaan fisik tapi juga butuh campur tangan hati dan otak, jadi di posting kali ini saya ingin sedikit berbagi tips tentang menjadi pendengar yang baik.

Pertama adalah sikap tubuh anda,bahasa tubuh anda menunjukkan ketertarikan, perhatian dan kepedulian anda terhadap hal yang anda dengar dan sekaligus kepada si pembicara.
Sikap tubuh yang baik adalah :

- Mengarah atau menghadap kepada si pembicara.
- Pertahankan tatapan mata (eye contact)
Mempertahankan eye contact bukan berarti terus menerus memandang si pembicara (hal ini mungkin membuat dia tidak nyaman) tetapi tetap beri perhatian kepadanya dan jangan sampai anda memandang kosong.

- Hindari hal-hal yang mengganggu perhatian atau konsentrasi anda
Bila anda sedang mengerjakan atau berkonsentrasi pada suatu hal sebaiknya hentikan salah satunya.


Selain sikap tubuh hal yang lebih penting adalah bagaimana anda bersikap terhadap bahan pembicaraan dan tentunya juga si pembicara sendiri.

- Cobalah untuk memahami apa yang ingin diungkapkan oleh si pembicara.
- Jangan terburu-buru menyetujui atau menolak gagasan si pembicara, cobalah untuk memahami apa yang dipikirkan olehnya
- Jangan memberi tanggapan sebelum anda dapat mengendalikan diri anda, pikirkan matang-matang apa yang akan keluar dari mulut anda
- Buka pikiran anda, ambil setiap informasi yang masuk. Jangan terlalu cepat menjustifikasi (mengadili ) suatu masalah hanya karena anda merasa tidak sesuai


Setelah si pembicara mengungkapkan isi pikirannya, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan tanggapan, pendapat atau pandangan anda. Tapi ingat perhatikan baik-baik si pembicara apakah dia ingin dikomentari ataukah dia sekedar ingin didengar. Kadang ketika kita bisa menumpahkan perasaan kita (curhat) kepada seseorang sekedar didengar sudah cukup baik. Dan satu lagi, tunjukan sikap dan pandangan anda tanpa membuat si pembicara merasa dihakimi, anda tidak sedang menjadi hakim kan ^_^

Foto-foto pas di Arjuna



Ini merupakan peta kontur dari gunung Arjuno





Kita berada diatas awan!!! l




Ini foto bareng dengan mereka yang udah minjemin kita tenda ^_^






Di Puncak Brrrr.....





Di tengah kebun teh, sepulang pendakian






Yang dipuncak lagi...






negeri diatas awan *_*






Sunrise





Sunrise juga....

Perjalanan Naik Gunung Arjuna Part II

Sudah baca gunung Arjuna Part I ?
Kalau belum ya silahkan baca dulu, kalau sudah, ini lanjutannya



Tiba di Lawang kami masih harus menempuh beberapa kilometer lagi menuju daerah kebun teh Wonosari atau pos awal pendakian Gunung Arjuna. Mas Bibit sendiri cuma bisa mengantar kami sampai disini sebab dia langsung kembali ke kampus buat ujian. Suasana disini benar-benar membuat hati tenang, segar, nyaman sekaligus membuat kita merasa diundang untuk bercengkerama dengan alam. Sulit buat saya untuk menggambarkan suasananya, tapi saya coba deh, awan yang sedikit kelabu berarak perlahan, kabut tipis yang tertiup angin sejuk membawa bau rumput dan wangi aroma daun dan bunga teh. Mungkin polusi belum menyentuh daerah ini, kepulan knalpot motor yang cuma beberapa, asap dapur rumah-rumah penduduk langsung termurnikan oleh jutaan daun disini. Coba deh anda kesana dan silahkan tarik nafas dalam-dalam, isi paru-parumu dengan kesegaran yang tidak akan kamu dapatkan di kota (semoga kalau anda kesana sekarang anda masih bisa merasakan suasana yang sama).

Sementara saya sedang mengisi buku laporan pendakian di pos PHPA, teman-teman cowok mengisi air, mentah tentunya, dan yang cewek merapikan packing. Pada waktu mengisi buku pendakian itu ada satu hal yang menarik saya, saya adalah ketua rombongan termuda di buku tamu itu ^_^ konyol ya?. Setelah selesai dengan segala tetek bengek macam air minum, cemilan, jas hujan atau poncho, de el el kami berdoa bersama semoga sukses, dan dengan segala semangat yang ada kami berangkat. Titik awal tujuan kami adalah sebuah bangunan terbuka berlantai semen dan beratap seng yang terletak ditengah-tengah kebun teh. Sambil mulai berjalan saya mulai mengatur urutan kelompok kecil ini, dengan saya berada paling depan, Uu' di tengah dan Dibyo paling belakang, mungkin anda bertanya lantas cowok yang satu lagi dikemanakan, sama, dia juga bertanya begitu. "Mas, lha aku gak dihitung?", entah karena pikiran yang lagi banyak atau memang pada dasarnya saya sendiri kurang 'pas' dengan dia, selama perjalanan itu saya lebih sering cuek ke dia. Salah satu kejelekan saya memang, yah meskipun sekarang sudah sedikit berkurang (dikiiit...lho)

Beberapa menit kemudian kita sampai di bangunan tersebut, istirahat juga meski belum capek, toh baru beberapa ratus meter kami melangkah. Sholat, makan cemilan, ngobrol-ngobrol, dan perjalanan kembali berlanjut. Tengah hari sudah lewat tapi awan tipis masih berarak pelan menutupi panasnya matahari, cerah tapi sejuk, cuaca yang pas mengiringi kami menyusuri jalan setapak ditengah-tengah kebun teh. Tujuan kami berikutnya sudah terlihat mata, kumpulan pepohonan dengan ketinggian sedang. Dari kejauhan warna daun-daunya berpadu dengan warna tanah yang kemerahan terlihat kontras dengan warna batang pohonnya yang coklat terang.

Memasuki daerah pepohonan ini jalanan mulai menyempit, bila tadi di kanan kiri kami adalah pepohonan teh yang setinggi pinggang maka sekarang disisi kami adalah batang dan ranting pohon, lumayan, cukup membantu kami dalam mengatasi licinnya jalan setapak ini. Musim penghujan memang memberi keuntungan dengan jaminan bahwa akan ada cukup air, tapi hujan juga yang melicinkan jalan setapak yang sebagian besar komposisinya adalah lempung ini. Licinnya jalan rupanya bukan gangguan besar buat kami, yang ada justru perasaan seru. Eh tapi kok semakin jauh berjalan tubuh saya terasa makin berat, ditambah panasnya mata dan rasa ngantuk yang menghentak-hentak kepala membuat saya memutuskan untuk berhenti sejenak. Carrier yang sebagian besar berisi air dengan berat sekitar 20kg rupanya kurang cocok buat saya pada saat itu, untungnya, sekali lagi untungnya ada dua orang cowok yang bisa diandalakan di kelompok saya (dalam soal makan dan kekuatan meraka memang handal ^_^).

Uu' : Abot Tip? Wis ben Dibyo sing nggawa!
(Berat Tip?, Udah biar dibyo yang bawa)
Dibyo : Ayo!!
Uu' : Wahaha dibyo..!! Sip Byo!
Dibyo : Matamu, gantian iki

Dengan disemangati oleh para adik-adik, Dibyo langsung memanggul carrier tersebut, sedang saya sendiri ganti membawa carrier Dibyo. Perjalanan berlanjut dengan komposiosi yang sudah berubah. Dibyo paling depan saya paling belakang dan Uu' di depan saya. Setelah mengisi perut dengan air dingin, rasanya kepala jadi enteng kembali mata pun jadi lebih segar, apalagi beban berkurang kaki jadi lebih ringan melangkah. Setelah kurang lebih satu jam kami berjalan daerah yang kami lalui mulai melebar, pepohonan mulai jarang dan punggungan bukit mulai terlihat jelas. Berhenti sejenak saya mencoba mencocokkan peta kontur yang ada, dengan mengambil acuan kepada daerah tempat kami berangkat saya mencoba mencari lokasi kami berada. Diputar, dibalik, bidik lagi dengan kompas, hitung back azimuthnya, lha?? kok tidak ketemu juga. Akhirnya sesuai kesepakatan bersama bahwa puncaknya Gunung arjuno pasti ada 'diatas' jadi perjalanan kami lanjutkan dengan mengikuti jalan setapak. Kalau anda mempertanyakan kegunaan peta kontur yang kami bawa saya cuma bisa bilang bahwa "peta itu berguna".

Daerah punggungan yang cukup landai dan banyak ditumbuhi rerumputan ini kalau tidak salah termasuk kawasan daerah Oro-oro Ombo yang memang sering dijadikan tempat untuk berkemah. Sambil beristirahat kami merundingkan apakah kami akan melanjutkan perjalanan pada malam hari ataukah akan mendirikan bivak dan menunggu esok pagi. Dengan pertimbangan bahwa tidak ada seorangpun yang pernah mendaki disini dan ditambah lagi dengan jumlah anggota cewek yang lebih banyak maka kami memutuskan untuk bermalam terlebih dahulu dan mencari tempat yang tepat untuk mendirikan bivak. Baru beberama menit berlalu mendung yang tadinya masih cukup tipis tiba-tiba menjadi semakin pekat, tebal dan tampak semakin berat. Kebetulan di depan ada tempat yang cukup landai, luas dan relatif mudah sebagai tempat pendirian bivak. Tepat pada saat saya hendak menurunkan carier tetes air hujan mulai berjatuhan, segera saja kami semua mengeluarkan pocho, mengeluarkan tali rafia, menyambungnya, sayangnya awan gelap diatas sudah tidak sabar menumpahkan isinya, akhirnya kami langsung saja berkumpul di bawah ponco dengan para cewek ditengah dan para cowok di keempat ujungnya. Hujan masih terlalu deras untuk mendirikan bivak, dan meskipun kehujanan adalah hal yang lumrah kami tetap kurang suka melewatkan malam dengan baju basah kuyup.

Setengah atau satu jam kemudian hujan mulai reda, kamipun segera mempersiapkan pendirian bivak, mencari kayu penyangga bivak, menyambung poncho, membuat selokan, merapikan carier dan masih banyak lagi. Meski begitu banyak pekerjaan yang mesti dibereskan toh kami masih bisa membuang waktu untuk berccanda, bekerja sambil tertawa dibawah langit terbuka seperti itu memang selalu menyenangkan. Inilah yang namanya kebersamaan, kekompakan kerjasama atau team work, untuk merasakan yang seperti ini nggak harus di acara-acara outbound yang serba mahal, naik gunung bersama teman pun bisa.

Masalah berikutnya adalah model bivak seperti apa yang akan kami buat, mulai dari model segitiga, trapesium, atau aneka rupa model lain, dan disini hujan yang sesekali deras ikut membantu kami dalam memutuskan model mana yang terbaik. Setiap kali bivak kami selesai berdiri hujan menunjukkan kelemahannya kepada kami entah dengan guyuran air yang masih menerobos celah bivak kami atau kadang hujan yuang bercampur angin menghujani satu sisi bivak kami dan sesekali menghempasnya hingga roboh. Menjelang senja akhirnya bivak kami bisa berdiri dengan menggunakan model "PN : Penting Ngadhek" (yang penting berdiri), toh bivak ini bisa memberi kehangatan dan perlindungan buat para anggota cewek dan barang-barang lain, kami sendiri para cowok lebih memilih (karena tidak ada pilihan lain) untuk menggelar matras di depan bivak. Dengan bersandar pada tumpukan tas kami bergeletakan diatas matras. Maghrib, berarti waktunya Ishoma, istirahat, sholat, makan, istirahat itu gampang toh semalaman ini kami cuma akan bergeletakan, jadi sholat dulu dan disusul dengan makan. Entah kenapa pada waktu mengadakan perjalanan seperti ini saya jadi lebih sering sholat, mungkin karena saya merasa takut, merasa benar-benar butuh pertolongan, mungkin....

Makan, meski berulang kali naik gunung rasanya menu makan selalu tidak jauh berbeda, hampir pasti selalu mie (dengan atau tanpa e), mulai dari indomi, supermi, sarimi dan sebangsanya tapi ya selalu asik, seru, dan entah kenapa kok enak juga. Mi yang dimasak di sebuah nesting eh rantang diatas kayu yang dipaksa menyala setelah disiram minyak tanah berulang kali kemudian disantap beramai-ramai. Suhu yang dingin membuat menyantap mi seperti ini makin nikmat, apalagi satu nesting disantap bersembilan tambah syiiippp......

Habis makan kami para cowok duduk-duduk di matras depan bivak, sambil bersandar kami menikmati pemandangan malam di arah kota Malang. Benar-benar menakjubkan, kerlip lampu dari kota malang sakan membaur dengan kerlip bintang di langit, horizon sudah tidak tampak, keren banget!!!! Dan kita seneng banget waktu di langit banyak bintang soalnya selain kelihatan keren hal itu juga berarti langit sedang cerah dan malam itu tidak akan ada hujan.Dan juga karena sepanjang sore tadi hujan telah diguyurkan habis-habisan malam ini suhu menjadi lebih hangat dan tidak ada kabut. Eh saya sempat melihat bintang jatuh lho*_*

Mungkin karena musim liburan, malam itu cukup banyak pendaki lain yang melintas baik yang berombongan maupun yang seorang-seorang, mereka menyapa kami sambil lewat atau sekedar berbasa-basi sambil sejenak mengistirahatkan kaki. Kemudian para anak-anak cewek ikut memenuhi matras yang cuma dua helai tersebut dan semakin ramailah suasana. Hingga kami beranjak tidur tidak banyak yang bisa ditulis disini, kegiatan kami lebih banyak diisi dengan bercanda, ngobrol, bikin tebak-tebakan garing, sampai akhirnya para cewek masuk ke bivak dan kami tidur di luar. Oh iya sebelum tidur saya sempat bikin tempat untuk menampung tetesan air embun dan air resapan hujan dari rantang dan cover carrier yang kedap air.


Menjelang pagi hujan turun lagi, waktu sekedar gerimis saya masih cuek, tapi kemudian makin deras dan makin deras lagi. Langsung saja dengan teriak-teriak, sepak sana sepak sini, para penghuni bivak dipaksa untuk memampatkan diri, pokoknya dengan cara apapun kami semua harus bisa berada di dalam bivak. Dengan segenap daya dan upaya akhirnya bisa juga berlindung dari terpaan hujan meski masih banyak tetes air yang menerobos lewat celah poncho. Akhirnya kami tetap terjaga hingga hujan reda saat menjelang subuh.

Setelah makan pagi (mie juga) dilanjutkan dengan membongkar bivak, packing ulang, dan perjalanan diteruskan. Setelah beeberapa waktu tubuh mulai terasa hangat, langkah pun mulai semakin cepat. Medan yang dilintasi kebanyakan berupa padang rumput, beberapa semak dan perdu, dan jalannya semakin menanjak. Dengan mengambil jalur yang lebih bersahabat kami sedikit berputar-putar melalui beberapa perbukitan, beberapa kali bertemu dengan beberapa grup pendaki lain baik yang sedang sama-sama akan menuju puncak maupun yang sudah kembali turun. Ketika kami mulai memasuki daerah perbukitan yang banyak ditumbuhi pinus jalan menjadi semakin menanjak, bahkan di tempat ini Dibyo dan Uu sempat nekat bertelanjang dada, untungnya saya masih cukup waras untuk tidak ikut-ikut mereka, akhirnya hal itu mereka hentikan sendiri waktu ada grup pendaki lain yang turun yang kebetulan juga mengandung cewek.
"Mas kepanasen ya?!" "wah mas'e kuat, ga adem mas ya" dan aneka celetukan lain yang membuat mereka akhirnya berbaju kembali ^_^
Perjalanan seperti ini berlangsung selama kurang lebih 5-6 jam hingga tiba ke sebuah dataran landai di mana kami mengadakan acara makan siang (yang juga mie). Dan disinilah dimulainya kemeja flanel saya menjadi sebuah gombal multifungsi, dari menjadi kain pemegang rantang, lap ponco, hingga ke alas tempat duduk, bahkan berhari-hari setelah pulang masih ada bau rumput yang menempel disitu.


Lumayan, perut sudah kembali hangat, kembali kami melangkah meneruskan perjalanan menuju puncak. Hutan yang tadinya lebih banyak didominasi oleh pinus sekarang menjadi lebih heterogen, suasana khas hutan tropis, aneka rupa warna hijau hadir disini, mulai dari dedaunan,lumut, semak dan rumput, hingga ke akar-akar yang menjalar dan menjulur, dingin sekaligus lembab. Hari semakin sore, sementara puncak sepertinya masih cukup jauh, saya mulai ragu apakah kami bisa mencapai puncak sebelum gelap. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan beberapa pendaki yang baru saja turun. Atas saran mereka carrier kami tinggalkan di tepi jalan setapak, sebab menurut mereka lebih baik begitu sebab puncak sudah hampir sampai jadi sebaiknya mengurangi beban dan segera dikebut naik menuju puncak sebelum matahari tenggelam. Setelah ditutupi dengan dedaunan dan dibacakan doa semoga aman dari gangguan para pengganggu (duh..) kami langsung mempercepat langkah menuju puncak.

Mendekati darerah puncak terdapat dataran yang cukup landai meski tidak terlalu luas. Setelah daerah landai tersebut jalur berlanjut dengan jalan setapak yang cukup terjal dan berbatu dengan satu sisi tegak dan sisi lain yang terbuka kami harus mendaki dengan ekstra hati-hati, nyaris tidak ada pegangan apapun kecuali beberapa batu yang sedikit menonjol. Akhirnya dengan saling berpegangan dan beriring-iringan kami berhasil mencapai puncak. Yesssss.....!!!!! (Penuh batu besar-besar)
Karena kami sudah berjanji maka begitu di puncak kami langsung sujud syukur dan berdoa, kemudian foto bareng. Setelah berhenti beberapa waktu kami turun.

Waktu setengah perjalanan menuruni jalan setapak tadi tiba-tiba dari arah bawah beberapa sinar senter mengarah ke kami. Saya pikir mereka iseng sehingga saya langsung berteriak supaya mereka jangan mengarahkan senternya ke kami, dan ternyata saya salah, duh malunya, maksud mereka melakukan itu adalah untuk membantu kami melihat jalan, mungkin mereka tahu bahwa kami tidak membawa senter.

Malu deh ~_~ karena sudah teriak-teriak ke mereka.

Ternyata mereka adalah rombongan pendaki dari salah satu STM di Surabaya, mereka memang bermalam disitu sebab besok pagi mereka akan melanjutkan ke Welirang. Dari dua tenda yang mereka dirikan salah satunya dipinjamkan ke kami, padahal mereka sendiri berduabelas, jadi jelas tidak mungkin mereka tidur dalam satu tenda. Ngobrol-ngobrol sebentar dengan mereka dan saya memutuskan untuk tidur, mereka sendiri ada dua orang yang bergantian jaga sedang kami tidur semua (kami ga sopan ya, sudah numpang, nglunjak lagi). Dan sebuah tenda seluas 1 X 2 meter itu dipenuhi sembilan manusia,(boleh dibayangkan kalau tega) jadi kami semua tidur dengan duduk dan berlipat lipat.

Pagi harinya anak-anak yang lain naik kembali ke puncak untuk memburu matahari terbit atawa sunrise, saya yang sempat dibangunkan, terinjak, tersepak dan akhirnya ditinggalkan untuk dengan bahagia tidur sambil meluruskan punggung saya,

"akhirnya....."

Setelah saya bangun yang benar-benar bangun saya melihat-lihat sekitar, eh ternyata kok jalan setapak yang menuju puncak itu cukup dekat juga. Pas saya mau ikut-ikut naik ke puncak lagi ,malah mereka turun, ya akhirnya nggak jadi, lagipula sunrise sudah lewat. Selain packing barang-barang kami sendiri kami juga bantu-bantu mereka packing, kemudian foto bareng, salam-salaman, nggak lupa ngomong terima kasih dan pamit kemudian kembali turun. Pulang.

Perjalanan pulang kami berlangsung cukup cepat, bahkan kami sempat bakar-bakar ketela yang kami temukan di sebuah pondokan nyaris-semi permanen, disitu juga kami mengisi air di sebuah ceruk diantara bebatuan tebing. Seingat kami, maksudnya saya, Dibyo dan Uu' tidak pernah cerita bahwa didalam ceruk itu ada seekor ular yang mati, selain nggak penting, toh juga nggak ada yang keracunan ^_^. Tidak banyak yang istimewa dalam perjalanan pulang kami kecuali beberapa kali jatuh, menggelinding, foto-foto bareng, yah begitulah, sekitar ashar kami tiba kembali di desa Wonosari. Setelah sholat dan beristirahat kami mulai berjalan menuju Lawang setelah sebelumnya mengisi buku laporan pendakian untuk konfirmasi bahwa kami telah meninggalkan area Gunung Arjuna. Rencananya setelah sampai Lawang kami akan menuju ke kos mas Bibit. Ternyata di tengah perjalanan kami sudah bertemu dengan mas Bibit, dan kembali dengan bergantian kami berboncengan dengan motor menuju ke Lawang dan langsung menuju ke kos mas Bibit.

Malamnya kami beres-beres carier, mencuci sleeping bag, matras rantang dll dsb... malamnya kegiatan persiapan untuk pulang besok pagi, ngobrol, makan, dan tidur. Besoknya kami pulang dengan bus dari Malang turun di Kertosono (kalo ga salah) ganti bis lagi ke Madiun, sampai terminal, telpon mas saya minta dijemput. Setelah sampai dirumah, saya kembali bertugas untuk memulangkan para cewek, Ayu saya antar pulang, saya pamitkan ke bapaknya, eh dia malah langsung mandi (kayaknya sih takut dimarahi), Arin saya antar pulang, bapaknya heran soalnya dikira dia ke malang bukan buat naik gunung, Tere, Anie dan Meira saya antar pulang tanpa masalah. Dibyo dan Uu' memilih untuk menginap dirumah saya dan baru pulang keesokan paginya, yang seorang lagi langsung pulang dengan dijemput ibunya.

Dan berakhirlah perjalanan kali ini.

Ahhhh.....setelah menulis posting ini kok saya jadi pengen naik gunung lagi ya....

03 October 2006

Yeah... Naik Gunung Arjuno Part I

Setelah berkali-kali mem-posting-kan kumpulan kata-kata, akhirnya kali ini kembali posting tentang journey. Tanggal pastinya saya sudah lupa mungkin akhir tahun 2000. Posting kali ini tentang perjalanan ke Gunung Arjuna atawa Arjuno silahkan pilih mana yang lebih cocok untuk lidah anda.

Let the story begin....

Liburan, ehm... saya lupa liburan apa, yang saya ingat saya sudah kelas 3 dan secara kepengurusan OSPA (Organisasi Siswa Pecinta Alam) saya sudah alumni, meskipun para alumni yang lebih tua masih suka berteriak-teriak "kalian ini belum lulus dhek jadi jangan ngerasa kalau kalian ini sudah jadi alumni, ngartiiii...!!!". Rumah (orang tua) saya yang berada di depan sekolah telah menjadi sebuah Base Camp secara alami, bagaimana tidak, jika setiap ada kesempatan (dan itu nyaris setiap hari) mereka selalu berkumpul di rumah saya, ehm lebih tepatnya di gudang rumah saya. Pada suatu ketika adik-adik saya (Generasi XV) ngomong "Mas munggah gunung yuk" (Mas, naik gunung yuk). Lantas apa mau dikata, saya sendiri suka (naik gunung maksudnya, bukan mereka) dan mereka kepengen maka disusunlah rencana.

Pilihan kemudian disusun berdasar kriteria tertentu, harus bisa didaki dalam waktu singkat (setidaknya sehari semalam), ada alumni yang bisa dimintai tolong, diajak ataupun dipaksa untuk membantu, mengenai biaya kami tidak ada masalah selama masih murah (lho..?). Akhirnya ada beberapa kandidat, Merbabu atau Arjuna, pilihan merbabu karena saya sudah pernah mendaki kesana namun akhirnya kesepakatan menjadi Gunung Arjuna. Setelah rencana ada kemudian mengumpulkan peserta, semua anggota Bram's dirayu, di-iming-iming, dibujuk, bahkan diancam agar ikut. Dengan perjuangan mencarikan ijin kepada para ortu, mencari alumni yang mau (dengan paksa) direpotkan untuk menampung kami, mengumpulkan segala daya dan upaya dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan disini, akhirnya berhasil dikumpulkan 9 orang. Dengan komposisi 5 orang cewek dan 4 orang cowok kami siap menuju Malang. Cowok pertama adalah saya sendiri kemudian Julianta-Uu', Dibyo-Crot, seorang cowok Gnr XV (aku lali jenengmu, kalau pengen dimuat kirim via mail ya) dan 5 orang cewek, Anie, Arin, Ayu, Tere, dan Meira.

Berangkat pada pukul 4 pagi kami bersama-sama menuju stasiun dengan Mas Kebo alias Ratomi. Setelah dengan segenap semangat sampai distasiun ternyata tungu punya tunggu kehadirannya tak kunjung tiba Lha..? Uu' kemudian tanya "Mas keretanya telat ya? nyampek jam berapa?" jawab si mas yang ditanya oleh Uu' " mungkin jam 7" Akhirnya pulang lagi ke rumah saya yang berjarak beberapa ratus meter dari stasiun. Eh tanpa dinyana tanpa diduga Uu' dan Dibyo beli nasi pecel, jelas tanpa menunggu ijin maupun instruksi lebih lanjut nasi pecel yang cuma 2 gelintir itupun langsung dihabisi dengan penuh kebersamaan.

Akhirnya suara pengumuman bahwa kereta sudah hadir terdengar, langsung kami berlompatan dan berlari menuju stasiun. Saya sendiri tidak ingat apakah kami terbang atau berlari dan whuzzzz..... tiba-tiba kami sudah nangkring didalam gerbong. Sejak awal kami sudah memantapkan niat dan hati kami untuk dengan segenap jiwa raga naik tanpa beli tiket, nggak baik sih tapi hal seperti ini selalu memberi sensasi tersendiri, dan yang tidak kalah penting adalah lebih irit. Bukannya tidak membayar sama sekali, kami tetap membayar tapi tanpa membeli karcis, curang? oh bukan kami memberi kesempatan kepada pak kondektur untuk memperoleh pendapatan sampingan ^_^. Sementara kami semua berkumpul di gerbong paling belakang untuk memudahkan transaksi, mas kebo lebih memilih duduk di dekat wc (tentu saja dia menyelesaikan masalah karcis dengan caranya sendiri). Karena bantuannya tidak bisa diharapkan akhirnya saya sebagai ketua rombongan (bagaimana lagi, wong saya yang memintakan mereka ijin) memutuskan untuk menghadapi Bapak kondektur dengan sepenuh hati.


PK (Pak Kondektur) : karcis..karcis... mas karcisnya?
Saya : Anu pak, ini pak, orang sembilan
PK : Lho berapa ini? 45 ribu, wah ga bisa mas, nggak bisa mas kalo segini
Uu' : Pak adanya cuma segitu pak
Dibyo : Iya pak, ini anak sekolah pak
PK : Wis...gini aja mas nanti di stasiun depan ikut saya ke kantor

Setelah Pak Kondektur pergi kami sempat rundingan, ketar-ketir juga saya ~_~;. Akhirnya dengan Uu' saya turun mengikuti pak Kondektur, tadinya saya pikir mau disuruh bayar denda atau disuruh turun dengan paksa, yah setidaknya disetrap dengan berdiri diatas satu kaki. Dan yang terjadi jauh diluar dugaan saya, kami berdua masuk kantor pegawai dan disana kami di...tertawakan. Dengan lantang pak kondektur ngomong " He! mau ke Malang orang sembilan bayar 45ribu ha ha ha..." dan yang lain dengan kompak ikut tertawa. "Udah mas sana naik lagi" Dan dengan cengar-cengir kami langsung kabur seraya mengucap terima kasih.

Perjalanan antara Madiun ke Malang berjalan lancar, bercanda, ngobrol, dan kegiatan iseng lainnya menjadi pengisi waktu. Sampai di Malang sekitar pukul 11, langsung disambut Mas Wawan yang lebih sering dipanggil Bibit (itu nama bapaknya lho) dengan temannya, kami dan temannya naik angkota atawa 'Lin' menuju kost mas bibit yang berlokasi di daerah Kertobanyon (eh bener ga mas?). Setelah sampai dan bergeletakan ala kadarnya di kost mas Bibit kami mulai planning, sayangnya mas Bibit langsung mengumumkan bahwa dia tidak bisa ikut karena sedang ujian.

Planning diawali dengan berita bahwa gunung Arjuna yang akan kami daki ternyata tidak cukup ditempuh dalam semalam dengan keadaan kami saat itu, padahal hanya ada dua carrier sedang yang lain hanya membawa tas ransel standar untuk berangkat sekolah duhhhhh.......

Akhirnya setelah menculik perlengkapan mendaki gunung mas Bibit, diperoleh 2 buah sleeping bag, 3 buah carier, kompor lapangan, kompas, peta kontur gunung arjuno, dan sebuah pisau lipat multifungsi (Maksudnya harus bisa difungsikan jadi apa saja). Setelah hardware terpenuhi sekarang tinggal urusan software alias bahan makanan, selain mi instan sebagai makanan pokok kami juga patungan untuk membeli aneka rupa cemilan, coklat blok 2 kg, roti, dan tidak ketinggalan sekitar 30 liter air. Malamnya sehari sebelum keberangkatan kami melewatkan waktu di kost mas Bibit dengan mengumpulkan informasi lebih banyak tentang gunung arjuno, dari sekedar ngobrol soal gunung topiknya berkembang menjadi soal hal-hal horor apalagi pada waktu itu di radio juga sedang ada acara misteri (pake acara melolong dan ketawa cekikikan lagi radionya). Dan sementara yang lain bercanda dan tertawa bareng-bareng, saya justru merasa cemas banget, selain karena sayalah yang akan bertanggung jawab atas keselamatan mereka saya juga bertanggung jawab atas kesuksesan perjalanan kali ini.

Paginya setelah sempat tidur skitar 3 jam (saya masih ngerasa cemas jadi baru tidur menjelang subuh), sholat subuh, mandi(eh...mungkin) sarapan (pasti) dan kemudian packing, leyeh-leyeh (ehm...boleh diartikan bersantai). Sementara yang lain mencari perlengkapan dan perbekalan tambahan saya (seakan-akan) mempelajari peta kontur dan mengumpulkan info yang ada. Akhirnya setelah mas Bibit pulang dari Ujian kita berangkat menuju Lawang.

Dan bersambung ke bagian dua.....

Bulan Puasa

Akhirnya setelah berhari-hari blog ini tak tersentuh sekarang saya mulai posting lagi, entah kenapa kok rasanya akhir-akhir ini otak buntu banget. Banyak hal yang ingin dituangkan, entah menjadi tulisan, gambar, atau benda-benda lain tapi entah kenapa ujung-ujungnya selalu mentok dan saya malah lebih sering menyalahkan keterbatasan perangkat pendukung mulai dari soal rusaknya PC hingga ke masalah keterbatasan dana. Tapi sebelum saya menulis panjang lebar, ijinkan saya menghaturkan permohonan maaf (yang meskipun telat) dalam bulan ramadhan ini.


Seiring dengan waktu yang bergulir sesekali terselip khilaf diantara kita
Pun terkadang ada yang salah pada ucap, hati dan laku diriku,
Semoga dibulan yang mulia ini diampunkan dosa-dosa kita,
dikuatkan iman dan dilimpahkan berkah bagi kita, keluarga kita dan segenap umat muslim di penjuru bumi.

Bulan puasa sudah berjalan sekitar sepertiganya, berbagai hal telah kita lakukan dalam menyambut dan mengisinya. Menu utamanya jelas puasa karena bulan ini adalah bulan puasa, saya sendiri sangat senang berpuasa ^_^ bukan cuma karena perut yang semakin mengembang tapi karena saya sendiri memang sering melewatkan seharian tanpa makan dan minum (meski lebih mudah untuk tidak makan daripada tidak minum). Tapi puasa bukan cuma sekedar menahan makan, minum, dan hal lain yang membatalakannya tapi puasa juga berarti lebih mengendalikan diri, jiwa, nafsu, hati dan pikiran kita. Nah bagian inilah yang menurut saya cukup sulit, bukan sekedar menahan tapi mengendalikan. Godaan seputar urusan perut dan bawah perut tidaklah terlalu menjadi masalah buat saya (toh masih ada malam hari hehe...) tapi menahan marah, mengumpat, dan semacamnya masih menjadi masalah buat saya. Tanpa sadar ketika ada masalah melintas kemarahan tidak lagi ditahan dalam hati, sumpah serapah meluncur begitu lancar, jalan macet, masalah cuaca, orang-orang yang menyebalkan, dan berbagai hal lain menjadi begitu mudah memancing emosi.

Selain soal mengendalikan hati, bulan Ramadhan juga bulan dimana kita bisa mendapatkan sebuah bonus khusus dalam tiap-tiap amalan kita, bisa anda bayangkan bila bernafas atau tidur saja diberi nilai ibadah betapa melimpahnya berkah Allah di bulan ini. Jadi bila kegiatan sehari-hari anda saja menjadi sebuah ibadah lantas bagaimana dengan ibadah itu sendiri?

Barangsiapa melakukan suatu kewajiban pada bulan ini, maka ia sama dengan orang yang melakukan tujuh puluh kali amalan wajib di bulan lainnya." (HR Ibnu Khuzaimah).

Begitu melimpahnya kebaikan yang dijanjikan Allah SWT di bulan ini ternyata masih belum benar-benar 'menyentuh' saya. Sepuluh hari pertama ini ibadah saya masih penuh lubang, sholat tarawih baru beberapa kali saya lakukan, belum lagi sholat 5 waktu yang masih sering terlaksana 80% (maksudnya hanya 4 kali) entah karena ketiduran atau bahkan karena malas. Yah semoga di 2/3 bulan yang akhir saya bisa melakukannya dengan lebih baik.

Ramadhan yang Ramai

Kita, maksud saya bangsa Indonesia, memang suka dan gemar terhadap keramaian, mulai dari menyaksikan hingga melakukan keramaian, mulai dari keramaian semacam menonton (bukan menolong) kecelakaan di jalan hingga ke perayaan-perayaan besar macam hari kemerdekaan, acara keagamaan, dan perayaan-perayaan lain.

Yang saya maksud dengan Ramadhan yang ramai adalah ramai dalam artian yang sebenarnya, mulai dari berjubelnya orang-orang di mall, pasar, atau lubernya mereka di jalanan hingga ke ramainya petasan dan tabuhan bedug di malam hari. Benar-benar ramai (kalau tidak boleh dibilang gaduh atau berisik).

Tempat kost saya berada di sebelah sebuah masjid, dan ini merupakan kedua kalinya tempat kos saya berada tepat bersebelahan dengan sebuah masjid. Seharusnya tidak ada masalah dengan hal ini tapi karena saya bilang seharusnya maka keadaan yang sebenarnya tentulah ada masalah, entah kenapa saya merasa kyurang sreg dengan masjid ini. Selalu ada saja hal-hal kecil yang membuat saya lebih memilih untuk melakukan sholat Jumat di masjid lain atau di bulan ini juga untuk lebih memilih melakukan shalat tarawih di kamar kost saya sendiri. Alasannya aneka rupa, ketidak cocokan dengan ceramah yang diberikan biasanya menjadi alasan saya untuk memi9lih masjid lain, kadang ceramahnya terlalu 'keras' berapi-api, atau terlalu ruwet, kadang juga karena pintu masjid yang sering tertutup, dan yang terakhir adalah riuhnya anak-anak kecil yang menabuh bedug setelah sholat tarawih (buat apa? kalau waktu adzan sih ga masalah).

Gaduh dan berisik menurut saya padahal buat saya setelah selesai sholat adalah waktu yang pas untuk berdoa, dan kalaupun tidak, sekedar duduk dan berkontemplasi (halaah...~_~;) atau merenung dan bukannya melamun, tentu tidak bisa dilakukan dalam kondisi sedemikian, Belum lagi suara petasan atau mercon.

Kemudian saya ingat bahwa sayapun waktu SD dan SMP pun juga meramaikan bulan puasa dengan letusan ataupun dentuman mercon. Begitupun teman-teman saya, seakan di bulan puasa ada sebuah pernyataan tak tertulis tentang kewajiban hadirnya petasan. begitupun pada malam takbiran maka kami akan ikut berkeliling kota, baik dengan mengendarai truk, pick-up, ataupun dengan iring-iringan sepeda motor. Saya sendiri tidak terlalu yakin dengan alasan saya melakukan itu, mungkin untuk ikut meramaikan, merayakan atau mungkin juga sekedar ikut-ikutan teman meluapakan perasaan. Dan saya juga tidak yakin perasaan apa yang saya luapakan, bahagia? syukur? kemenangan? tapi kemungkinan besar hal itu saya lakukan karena itu adalah sebuah kesempatan, untuk beramai-ramai bersama teman, keliling kota, bergembira (atau lebih cocok disebut hura-hura) bersama. Dan saya tetap tidak tahu untuk apa.....

Seperti yang saya tulis diatas, kita memang senang dengan keramaian, tahun baru, malam takbiran, 17 agustusan, dan perayaan lain kita rayakan dengan ramai. Bunyi-bunyian yang memekakkan telinga, raungan iring-iringan kendaraan bermotor, teriakan-teriakan, bunyi ledakan kecil dan besar, dan entah apa lagi. Meramaikan diterjemahkan menjadi kerasnya bunyi, banyaknya orang, dan meluapnya aneka perasaan. Saya sendiri tidak tahu pakah saya yang terlalu skeptis, atau karena saya yang memang bukan penggemar keramaian sehingga saya merasa bahwa perayaan juga bisa dilakyukan dalam suasana yang penuh kedamaian, tenang, hening, ayem. Dan sekali lagi sebuah petasan meledak di depan sana......