27 April 2015

Menunggu Siap





Saat saya berbagi kisah tentang serunya jalan-jalan ke gunung banyak kawan yang berminat untuk ikut. Ingin merasakan serunya perjalanan, berada di puncak, melihat lautan awan, matahari terbit dan banyak keseruan lain. Namun yang sering terjadi adalah, para calon peserta yang jauh-jauh hari tampak begitu bersemangat justru mundur saat menjelang hari H. Belum siap adalah alasan yang paling sering disampaikan. Jadi saya akan sedikit berbagi soal siap dan tidak siap ini.

Jika 2 tahun yang lalu anda bertanya apakah saya siap untuk mendaki gunung lagi maka saya akan terpikir-pikir cukup lama untuk menjawabnya. Persiapan fisik, mental, peralatan dan aneka kebutuhan lain makin menambah rasa tidak percaya diri. Bahkan saat istri saya menyemangati untuk mendaki kembali (sambil mengajak dia tentunya) saya justru mempertanyakan kesiapannya. Minum air mentah, pipis di alam terbuka, perjalanan panjang dan melelahkan, juga kemungkinan tidak berjumpa nasi seharian. Nanti masuk angin, nanti ndak kuat, nanti dan nanti yang lain yang sebenarnya justru berisi kekuatiran dan ketidak percayaan saya pada diri sendiri.

Kenyataannya justru istri saya kuat mendaki hingga ke puncak, pun juga kawan-kawan yang baru pertama kali mendaki. Meski semua menyisakan rasa tidak siap tidak satupun dari kami yang surut, langkah pertama sudah diambil maka yang harus dilakukan hanya melanjutkan langkah yang berikutnya. 

Seringkali siap atau tidak siap hanyalah keadaan yang ada dalam pikiran kita. Bila kita menunggu siap maka kita tidak akan pernah melangkah, tidak pernah memulai apapun, dan ini tidak hanya dalam avonturir tapi juga dalam hidup. Sekali waktu kita mesti membuat pilihan, atau kita tidak akan pernah melakukan. 


Jika kita menunggu hingga kita siap, maka kita akan menunggu sepanjang sisa hidup kita, sebab hidup dimulai saat kita sudah bisa meninggalkan zona nyaman kita.