10 September 2009

Menembus Batas Diri

Batas : 1 perhinggaan; 2 sempadan pemisah antara dua bidang, ruas, dan daerah; 3 ketentuan yg tidak boleh dilampaui.

Secara bahasa itulah artian dari batas, sebuah garis yang memisahkan dua hal. Akan tetapi bila ditinjau secara nilai "rasa" maka artinya bisa sangat berbeda bagi tiap-tiap orang. Lantas apa sih sebenarnya yang disebut "batas" itu? Apakah itu adalah sebuah garis akhir tempat kita menyerah? Ataukah suatu keadaan dimana kita harus mulai menyadari kemampuan diri?

Pertanyaan ini muncul ketika saya sedang berada dalam suatu proyek tambang di Halmahera, dan lebih tepatnya saat saya sedang terpikir-pikir ditengah sungai, ya, ditengah sungai, sebuah sungai kecil dengan batu besar di tengahnya. Pekerjaan kami pada proyek tersebut adalah pemetaan atau topografi jadi setiap hari kami menempuh setidaknya 3-5Km, dan pada awal perjalanan kami selalu harus mendaki sebuah tanjakan (kami beri nama "Tanjakan Selamat Pagi") sejauh 1 Km dengan kemiringan yang cukup menguras keringat, menghilangkan nafsu makan, dan menimbulkan haus yang amat sangat.

Itulah efek yang terjadi saat pertama kali mendaki tanjakan ini, dan entah berapa kali saya harus beristirahat sebelum mencapai ujung dari tanjakan ini. Selalu saja ada godaan untuk menyerah, untuk berhenti atau memilih kembali. Setelah berhari-hari menjalani 'menu' yang sama saya baru menyadari saya makin jarang berhenti di tengah tanjakan, bahkan akhirnya saya bisa melewati tanjakan ini tanpa harus beristirahat.

Lantas pada suatu sore di tengah sungai sepulang "tugas" saya mendinginkan kaki di tengah sungai dan mulai berpikir tentang batasan diri saya. Sesuatu yang awalnya terasa begitu berat bisa terlewati karena saya terus mencoba untuk menembus batasan diri saya. Ketika kaki saya sudah begitu lemas, ketika jantung saya seperti mau meledak, tapi saya tetap melangkah, dan saya mencapai akhir dari perjalanan saya.

Lantas kemana batas imajiner yang selama ini membatasi langkah saya? Ternyata itu semua cuma ada di otak saya. Ternyata tidak ada yang namanya batas, selalu ada langit di atas langit, yang paling tinggi belum cukup tinggi, masih bisa lebih jauh lagi, meski mungkin tidak hari ini.

Yeahh!!! Tampak bersemangat sekali kan? seakan-akan tidak ada yang bisa menghentikan saya, bahkan Tuhan. Ya, saya juga pernah seperti itu, mencoba melawan semua batasan, semua hal yang merintangi, dan semua nasehat, cibiran, tak ada artinya buat saya. Ketika saya memutuskan bahwa saya pasti bisa melampaui batas ini,1000% saya yakin bisa.

Saya terus berlari dan memaksa diri saya untuk menembus batas, tapi ternyata saya tidak mampu, jiwa saya menjerit kesakitan, tubuh saya memberontak. Saya masih terus memaksa mereka, hingga tetes terakhir dari semangat saya pun nyaris menguap. Merasa takut dikudeta oleh tubuh dan jiwa saya maka saya berdamai dengan mereka, saya duduk sejenak, menimbang rasa dan logika, dan saya memutuskan untuk menyerah.

Bukan karena saya kalah, bukan karena saya tidak mau berusaha, tapi mungkin bukan ini jalan saya.

Dari lembar-lembar kisah hidup yang sudah saya lewati ini, akhirnya saya menyadari, terlalu membatasi diri hanya akan membuat kita jadi kerdil dan lemah, tapi tidak mengenali batasan diri juga bisa membuat kita jadi pongah, takabur. Menempatkan batasan itu pada tempat yang tepat adalah kuncinya.

1 comment:

  1. Anonymous6:57 PM

    Pengalaman hidup yang sangat menarik dan baik untuk direnungkan, terutama "di atas langit masih ada langit". Terkadang kita manusia sering lupa dengan istilah ini dan terkadang melangkah terlalu jauh melewati ambang batas kualitas diri kita seperti apa (tidak sadar).

    Kesadaran akan kualitas diri ini yang menjadi bahan acuan terhadap segala hal.

    Bila kita kaya, pintar, sukses, atau lebih dari org yg ada di sekitar kita, maka marilah melihat ke atas dan memandang dunia lebih jauh maka akan ada langit di atas langit. Jadi tidak perlu sombong atau pongah....

    Bila suatu ketika kita berada pada kondisi yang terbodoh, termiskin, atau paling bawah dari yang ada pada lingkungan kita, maka marilah kita melihat ke bawah dan memandang dunia lagi, ternyata masih ada langit di bawah kita. Jadi tidak perlu kita minder...

    Titik acuan itulah yang akan membuat kita terus belajar dan belajar tentang ilmu, baik itu ilmu teknologi, agama, bahasa, psikologi, hukum, dan ilmu lainya (kecuali ilmu santet he he he....). Bila hal kita sadari, maka yang ada adalah sifat yang tidak akan lupa dengan yg di atas dan selalu berkaca akan siapa diri kita sendiri sehingga memungkinkan kita menembus batas itu...

    dariku yang menembus batas GENETIK
    Mingotrozevic Voerbah

    ReplyDelete