12 July 2007

Kapan Jusuf Kalla bisa seperti Jarwo Kuwat

Postingan kali ini masih juga bernada sedih, atau mungkin lebih tepat kecewa. Yang pasti bukan kecewa pada Timnas kita, wong mereka sukses menyarangkan 2 buah gol di gawang Bahrain kok. Kekecewaan ini menguat setelah membaca Kompas hari Sabtu atau Minggu kemarin, agak kurang jelas harinya sebab keduanya saya baca hari Minggu sore. Di salah satu berita yang dimuat disana ada yang bikin minggu sore saya menyebalkan, yaitu soal pembelaan JK mengenai Ujian Nasional yang disampaikannya di salah satu universitas.

Sejak awal si JK ini memang keukeuh dengan soal ujian ini, dengan alasan bahwa ujian ini penting fungsinya dalam dunia pendidikan kita sebab dengan pemberlakuan standar dan kenaikan standar setiap tahunnya maka mutu pendidikan kita akan semakin baik. Dan seakan belum cukup, masih ditambahkan lagi kalimat yang bunyinya kira-kira seperti ini "...lebih baik 100 anak stress daripada sejuta anak bodoh". Wow...fantastis, padahal UAN belum tentu membuat mereka pandai tapi kalau stress pasti, lantas kok bisa JK membuat komparasi seperti itu? Lagipula bukankah siswa yang tidak lulus itu juga bagian dari tanggung jawab sistem pendidikan, kok lantas mereka diperlakukan seperti tumbal dengan menganggap tidak masalah beberapa nggak lulus yang penting target standar nilai UAN terpenuhi.

Mungkin kalimat diatas muncul tanpa sadar atau muncul secara spontan, tapi bukankah ini mengerikan? Ya menurut saya ini mengerikan, sebab ini adalah cara perhitungan dagang, cara berhitung yang saya pikir khas para pemilik modal. Tidak masalah mengorbankan sebagian kecil untuk mendapatkan hasil yang besar. JK memang sering menggunakan perhitungan semacam ini, jumlah siswa yang tidak lulus, jumlah orang miskin, jumlah pengangguran, semuanya dipandang dalam persentase, dalam perbandingan dimana 2,5 juta orang hanyalah bernilai kurang dari 1% penduduk negeri ini (dan ini menjadikan mereka tidak penting buat JK). Hal ini juga mengingatkan saya pada contoh ekstrim macam film action amerika, dimana seringkali untuk melumpuhkan penjahat harus mengorbankan banyak nyawa, belum lagi mobil, fasilitas umum, tempat tinggal penduduk bahkan sayur mayur. Mengorbankan 400 nyawa dianggap layak untuk menyelamatkan 5000 penduduk atau keluarga presiden, yah... meskipun biasanya para hero mereka selalu bisa menggagalkan niat sang penjahat (meski juga dengan perngorbanan beberapa nyawa).

Bayangkanlah bila perhitungan semacam ini diterapkan pada pendidikan.

--------------------------------------------------------------------


(ruang diatas sengaja untuk memberi jeda agar anda sempat membayangkan)

Dengan adanya standar maka semua siswa diukur dengan satu acuan, dengan sebuah perhitungan matematis dimana semua orang diharapkan mencapai batasan yang sama, sebuah nilai minimal yang menentukan tingkatan seorang manusia. Rasanya semakin merinding saya. Bukankah ini menjadi mirip sebuah pasar, semua siswa dinilai dengan standar, sama halnya dengan semua barang yang dinilai dengan rupiah. Padahal nilai seorang siswa jelas bukan cuma soal kemampuannya menghitung trigonometri ataupun menjelaskan hukum Pascall. UAN menyebabkan para siswa kelimpungan mengejar angka, yang lebih di otak ya belajar, yang lebih di uang ya membeli, yang lebih di kuasa ya kolusi, yang lebih di hati mungkin tinggal berharap pada Tuhan dan gigit jari.

Seperti juga dinyatakan oleh JK bahwa para siswa belajar giat karena takut tidak lulus, maka ini menunjukkan bahwa kita bersekolah demi sebuah kelulusan, demi ijazah. Mungkin bersekolah untuk mencari ilmu memang cuma slogan.

Mereka yang tidak lulus mungkin memang bodoh, tapi apakah mereka memang masa bodoh? Memang banyak anak yang malas belajar, banyak yang tidak peduli apa yang diajarkan oleh guru mereka, tapi perlu diingat bahwa banyak juga yang menjadi bodoh karena keadaan, karena tidak punya waktu belajar, karena sekolahnya tidak layak untuk belajar, karena gurunya tidak bisa ngajar. Ada banyak sekali penyebab tidak lulusnya seorang siswa.

Lagipula rasanya sudah jadi kebiasaan buat JK untuk ngomong dulu, soal bukti nanti saja. Sudah banyak janji yang terlontar mulai dari soal gempa di Jogja hingga ke berbagai hal lain yang realisasinya tak kunjung tiba.

Kapan yah JK bisa seperti Jarwo Kuat yang komentarnya bisa bikin hati ketawa dan bukannya malah panas, kapan yah JK bisa berhenti berpikir ala pedagang biar bisa berpikir dan bertindak selayaknya seorang pendamping presiden, kapan.......yah???



NB : Meskipun begitu perlu saya tambahkan sedikit berita (semoga) baik. Yaitu tentang akan diterapkannya sistem penilaian berdasarkan kompetensi. Berarti ada harapan bahwa ijazah tidak akan lagi terlalu didewakan, dan sekecil apapun sebuah harapan tetap harapan.

No comments:

Post a Comment