07 October 2006

Perjalanan Naik Gunung Arjuna Part II

Sudah baca gunung Arjuna Part I ?
Kalau belum ya silahkan baca dulu, kalau sudah, ini lanjutannya



Tiba di Lawang kami masih harus menempuh beberapa kilometer lagi menuju daerah kebun teh Wonosari atau pos awal pendakian Gunung Arjuna. Mas Bibit sendiri cuma bisa mengantar kami sampai disini sebab dia langsung kembali ke kampus buat ujian. Suasana disini benar-benar membuat hati tenang, segar, nyaman sekaligus membuat kita merasa diundang untuk bercengkerama dengan alam. Sulit buat saya untuk menggambarkan suasananya, tapi saya coba deh, awan yang sedikit kelabu berarak perlahan, kabut tipis yang tertiup angin sejuk membawa bau rumput dan wangi aroma daun dan bunga teh. Mungkin polusi belum menyentuh daerah ini, kepulan knalpot motor yang cuma beberapa, asap dapur rumah-rumah penduduk langsung termurnikan oleh jutaan daun disini. Coba deh anda kesana dan silahkan tarik nafas dalam-dalam, isi paru-parumu dengan kesegaran yang tidak akan kamu dapatkan di kota (semoga kalau anda kesana sekarang anda masih bisa merasakan suasana yang sama).

Sementara saya sedang mengisi buku laporan pendakian di pos PHPA, teman-teman cowok mengisi air, mentah tentunya, dan yang cewek merapikan packing. Pada waktu mengisi buku pendakian itu ada satu hal yang menarik saya, saya adalah ketua rombongan termuda di buku tamu itu ^_^ konyol ya?. Setelah selesai dengan segala tetek bengek macam air minum, cemilan, jas hujan atau poncho, de el el kami berdoa bersama semoga sukses, dan dengan segala semangat yang ada kami berangkat. Titik awal tujuan kami adalah sebuah bangunan terbuka berlantai semen dan beratap seng yang terletak ditengah-tengah kebun teh. Sambil mulai berjalan saya mulai mengatur urutan kelompok kecil ini, dengan saya berada paling depan, Uu' di tengah dan Dibyo paling belakang, mungkin anda bertanya lantas cowok yang satu lagi dikemanakan, sama, dia juga bertanya begitu. "Mas, lha aku gak dihitung?", entah karena pikiran yang lagi banyak atau memang pada dasarnya saya sendiri kurang 'pas' dengan dia, selama perjalanan itu saya lebih sering cuek ke dia. Salah satu kejelekan saya memang, yah meskipun sekarang sudah sedikit berkurang (dikiiit...lho)

Beberapa menit kemudian kita sampai di bangunan tersebut, istirahat juga meski belum capek, toh baru beberapa ratus meter kami melangkah. Sholat, makan cemilan, ngobrol-ngobrol, dan perjalanan kembali berlanjut. Tengah hari sudah lewat tapi awan tipis masih berarak pelan menutupi panasnya matahari, cerah tapi sejuk, cuaca yang pas mengiringi kami menyusuri jalan setapak ditengah-tengah kebun teh. Tujuan kami berikutnya sudah terlihat mata, kumpulan pepohonan dengan ketinggian sedang. Dari kejauhan warna daun-daunya berpadu dengan warna tanah yang kemerahan terlihat kontras dengan warna batang pohonnya yang coklat terang.

Memasuki daerah pepohonan ini jalanan mulai menyempit, bila tadi di kanan kiri kami adalah pepohonan teh yang setinggi pinggang maka sekarang disisi kami adalah batang dan ranting pohon, lumayan, cukup membantu kami dalam mengatasi licinnya jalan setapak ini. Musim penghujan memang memberi keuntungan dengan jaminan bahwa akan ada cukup air, tapi hujan juga yang melicinkan jalan setapak yang sebagian besar komposisinya adalah lempung ini. Licinnya jalan rupanya bukan gangguan besar buat kami, yang ada justru perasaan seru. Eh tapi kok semakin jauh berjalan tubuh saya terasa makin berat, ditambah panasnya mata dan rasa ngantuk yang menghentak-hentak kepala membuat saya memutuskan untuk berhenti sejenak. Carrier yang sebagian besar berisi air dengan berat sekitar 20kg rupanya kurang cocok buat saya pada saat itu, untungnya, sekali lagi untungnya ada dua orang cowok yang bisa diandalakan di kelompok saya (dalam soal makan dan kekuatan meraka memang handal ^_^).

Uu' : Abot Tip? Wis ben Dibyo sing nggawa!
(Berat Tip?, Udah biar dibyo yang bawa)
Dibyo : Ayo!!
Uu' : Wahaha dibyo..!! Sip Byo!
Dibyo : Matamu, gantian iki

Dengan disemangati oleh para adik-adik, Dibyo langsung memanggul carrier tersebut, sedang saya sendiri ganti membawa carrier Dibyo. Perjalanan berlanjut dengan komposiosi yang sudah berubah. Dibyo paling depan saya paling belakang dan Uu' di depan saya. Setelah mengisi perut dengan air dingin, rasanya kepala jadi enteng kembali mata pun jadi lebih segar, apalagi beban berkurang kaki jadi lebih ringan melangkah. Setelah kurang lebih satu jam kami berjalan daerah yang kami lalui mulai melebar, pepohonan mulai jarang dan punggungan bukit mulai terlihat jelas. Berhenti sejenak saya mencoba mencocokkan peta kontur yang ada, dengan mengambil acuan kepada daerah tempat kami berangkat saya mencoba mencari lokasi kami berada. Diputar, dibalik, bidik lagi dengan kompas, hitung back azimuthnya, lha?? kok tidak ketemu juga. Akhirnya sesuai kesepakatan bersama bahwa puncaknya Gunung arjuno pasti ada 'diatas' jadi perjalanan kami lanjutkan dengan mengikuti jalan setapak. Kalau anda mempertanyakan kegunaan peta kontur yang kami bawa saya cuma bisa bilang bahwa "peta itu berguna".

Daerah punggungan yang cukup landai dan banyak ditumbuhi rerumputan ini kalau tidak salah termasuk kawasan daerah Oro-oro Ombo yang memang sering dijadikan tempat untuk berkemah. Sambil beristirahat kami merundingkan apakah kami akan melanjutkan perjalanan pada malam hari ataukah akan mendirikan bivak dan menunggu esok pagi. Dengan pertimbangan bahwa tidak ada seorangpun yang pernah mendaki disini dan ditambah lagi dengan jumlah anggota cewek yang lebih banyak maka kami memutuskan untuk bermalam terlebih dahulu dan mencari tempat yang tepat untuk mendirikan bivak. Baru beberama menit berlalu mendung yang tadinya masih cukup tipis tiba-tiba menjadi semakin pekat, tebal dan tampak semakin berat. Kebetulan di depan ada tempat yang cukup landai, luas dan relatif mudah sebagai tempat pendirian bivak. Tepat pada saat saya hendak menurunkan carier tetes air hujan mulai berjatuhan, segera saja kami semua mengeluarkan pocho, mengeluarkan tali rafia, menyambungnya, sayangnya awan gelap diatas sudah tidak sabar menumpahkan isinya, akhirnya kami langsung saja berkumpul di bawah ponco dengan para cewek ditengah dan para cowok di keempat ujungnya. Hujan masih terlalu deras untuk mendirikan bivak, dan meskipun kehujanan adalah hal yang lumrah kami tetap kurang suka melewatkan malam dengan baju basah kuyup.

Setengah atau satu jam kemudian hujan mulai reda, kamipun segera mempersiapkan pendirian bivak, mencari kayu penyangga bivak, menyambung poncho, membuat selokan, merapikan carier dan masih banyak lagi. Meski begitu banyak pekerjaan yang mesti dibereskan toh kami masih bisa membuang waktu untuk berccanda, bekerja sambil tertawa dibawah langit terbuka seperti itu memang selalu menyenangkan. Inilah yang namanya kebersamaan, kekompakan kerjasama atau team work, untuk merasakan yang seperti ini nggak harus di acara-acara outbound yang serba mahal, naik gunung bersama teman pun bisa.

Masalah berikutnya adalah model bivak seperti apa yang akan kami buat, mulai dari model segitiga, trapesium, atau aneka rupa model lain, dan disini hujan yang sesekali deras ikut membantu kami dalam memutuskan model mana yang terbaik. Setiap kali bivak kami selesai berdiri hujan menunjukkan kelemahannya kepada kami entah dengan guyuran air yang masih menerobos celah bivak kami atau kadang hujan yuang bercampur angin menghujani satu sisi bivak kami dan sesekali menghempasnya hingga roboh. Menjelang senja akhirnya bivak kami bisa berdiri dengan menggunakan model "PN : Penting Ngadhek" (yang penting berdiri), toh bivak ini bisa memberi kehangatan dan perlindungan buat para anggota cewek dan barang-barang lain, kami sendiri para cowok lebih memilih (karena tidak ada pilihan lain) untuk menggelar matras di depan bivak. Dengan bersandar pada tumpukan tas kami bergeletakan diatas matras. Maghrib, berarti waktunya Ishoma, istirahat, sholat, makan, istirahat itu gampang toh semalaman ini kami cuma akan bergeletakan, jadi sholat dulu dan disusul dengan makan. Entah kenapa pada waktu mengadakan perjalanan seperti ini saya jadi lebih sering sholat, mungkin karena saya merasa takut, merasa benar-benar butuh pertolongan, mungkin....

Makan, meski berulang kali naik gunung rasanya menu makan selalu tidak jauh berbeda, hampir pasti selalu mie (dengan atau tanpa e), mulai dari indomi, supermi, sarimi dan sebangsanya tapi ya selalu asik, seru, dan entah kenapa kok enak juga. Mi yang dimasak di sebuah nesting eh rantang diatas kayu yang dipaksa menyala setelah disiram minyak tanah berulang kali kemudian disantap beramai-ramai. Suhu yang dingin membuat menyantap mi seperti ini makin nikmat, apalagi satu nesting disantap bersembilan tambah syiiippp......

Habis makan kami para cowok duduk-duduk di matras depan bivak, sambil bersandar kami menikmati pemandangan malam di arah kota Malang. Benar-benar menakjubkan, kerlip lampu dari kota malang sakan membaur dengan kerlip bintang di langit, horizon sudah tidak tampak, keren banget!!!! Dan kita seneng banget waktu di langit banyak bintang soalnya selain kelihatan keren hal itu juga berarti langit sedang cerah dan malam itu tidak akan ada hujan.Dan juga karena sepanjang sore tadi hujan telah diguyurkan habis-habisan malam ini suhu menjadi lebih hangat dan tidak ada kabut. Eh saya sempat melihat bintang jatuh lho*_*

Mungkin karena musim liburan, malam itu cukup banyak pendaki lain yang melintas baik yang berombongan maupun yang seorang-seorang, mereka menyapa kami sambil lewat atau sekedar berbasa-basi sambil sejenak mengistirahatkan kaki. Kemudian para anak-anak cewek ikut memenuhi matras yang cuma dua helai tersebut dan semakin ramailah suasana. Hingga kami beranjak tidur tidak banyak yang bisa ditulis disini, kegiatan kami lebih banyak diisi dengan bercanda, ngobrol, bikin tebak-tebakan garing, sampai akhirnya para cewek masuk ke bivak dan kami tidur di luar. Oh iya sebelum tidur saya sempat bikin tempat untuk menampung tetesan air embun dan air resapan hujan dari rantang dan cover carrier yang kedap air.


Menjelang pagi hujan turun lagi, waktu sekedar gerimis saya masih cuek, tapi kemudian makin deras dan makin deras lagi. Langsung saja dengan teriak-teriak, sepak sana sepak sini, para penghuni bivak dipaksa untuk memampatkan diri, pokoknya dengan cara apapun kami semua harus bisa berada di dalam bivak. Dengan segenap daya dan upaya akhirnya bisa juga berlindung dari terpaan hujan meski masih banyak tetes air yang menerobos lewat celah poncho. Akhirnya kami tetap terjaga hingga hujan reda saat menjelang subuh.

Setelah makan pagi (mie juga) dilanjutkan dengan membongkar bivak, packing ulang, dan perjalanan diteruskan. Setelah beeberapa waktu tubuh mulai terasa hangat, langkah pun mulai semakin cepat. Medan yang dilintasi kebanyakan berupa padang rumput, beberapa semak dan perdu, dan jalannya semakin menanjak. Dengan mengambil jalur yang lebih bersahabat kami sedikit berputar-putar melalui beberapa perbukitan, beberapa kali bertemu dengan beberapa grup pendaki lain baik yang sedang sama-sama akan menuju puncak maupun yang sudah kembali turun. Ketika kami mulai memasuki daerah perbukitan yang banyak ditumbuhi pinus jalan menjadi semakin menanjak, bahkan di tempat ini Dibyo dan Uu sempat nekat bertelanjang dada, untungnya saya masih cukup waras untuk tidak ikut-ikut mereka, akhirnya hal itu mereka hentikan sendiri waktu ada grup pendaki lain yang turun yang kebetulan juga mengandung cewek.
"Mas kepanasen ya?!" "wah mas'e kuat, ga adem mas ya" dan aneka celetukan lain yang membuat mereka akhirnya berbaju kembali ^_^
Perjalanan seperti ini berlangsung selama kurang lebih 5-6 jam hingga tiba ke sebuah dataran landai di mana kami mengadakan acara makan siang (yang juga mie). Dan disinilah dimulainya kemeja flanel saya menjadi sebuah gombal multifungsi, dari menjadi kain pemegang rantang, lap ponco, hingga ke alas tempat duduk, bahkan berhari-hari setelah pulang masih ada bau rumput yang menempel disitu.


Lumayan, perut sudah kembali hangat, kembali kami melangkah meneruskan perjalanan menuju puncak. Hutan yang tadinya lebih banyak didominasi oleh pinus sekarang menjadi lebih heterogen, suasana khas hutan tropis, aneka rupa warna hijau hadir disini, mulai dari dedaunan,lumut, semak dan rumput, hingga ke akar-akar yang menjalar dan menjulur, dingin sekaligus lembab. Hari semakin sore, sementara puncak sepertinya masih cukup jauh, saya mulai ragu apakah kami bisa mencapai puncak sebelum gelap. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan beberapa pendaki yang baru saja turun. Atas saran mereka carrier kami tinggalkan di tepi jalan setapak, sebab menurut mereka lebih baik begitu sebab puncak sudah hampir sampai jadi sebaiknya mengurangi beban dan segera dikebut naik menuju puncak sebelum matahari tenggelam. Setelah ditutupi dengan dedaunan dan dibacakan doa semoga aman dari gangguan para pengganggu (duh..) kami langsung mempercepat langkah menuju puncak.

Mendekati darerah puncak terdapat dataran yang cukup landai meski tidak terlalu luas. Setelah daerah landai tersebut jalur berlanjut dengan jalan setapak yang cukup terjal dan berbatu dengan satu sisi tegak dan sisi lain yang terbuka kami harus mendaki dengan ekstra hati-hati, nyaris tidak ada pegangan apapun kecuali beberapa batu yang sedikit menonjol. Akhirnya dengan saling berpegangan dan beriring-iringan kami berhasil mencapai puncak. Yesssss.....!!!!! (Penuh batu besar-besar)
Karena kami sudah berjanji maka begitu di puncak kami langsung sujud syukur dan berdoa, kemudian foto bareng. Setelah berhenti beberapa waktu kami turun.

Waktu setengah perjalanan menuruni jalan setapak tadi tiba-tiba dari arah bawah beberapa sinar senter mengarah ke kami. Saya pikir mereka iseng sehingga saya langsung berteriak supaya mereka jangan mengarahkan senternya ke kami, dan ternyata saya salah, duh malunya, maksud mereka melakukan itu adalah untuk membantu kami melihat jalan, mungkin mereka tahu bahwa kami tidak membawa senter.

Malu deh ~_~ karena sudah teriak-teriak ke mereka.

Ternyata mereka adalah rombongan pendaki dari salah satu STM di Surabaya, mereka memang bermalam disitu sebab besok pagi mereka akan melanjutkan ke Welirang. Dari dua tenda yang mereka dirikan salah satunya dipinjamkan ke kami, padahal mereka sendiri berduabelas, jadi jelas tidak mungkin mereka tidur dalam satu tenda. Ngobrol-ngobrol sebentar dengan mereka dan saya memutuskan untuk tidur, mereka sendiri ada dua orang yang bergantian jaga sedang kami tidur semua (kami ga sopan ya, sudah numpang, nglunjak lagi). Dan sebuah tenda seluas 1 X 2 meter itu dipenuhi sembilan manusia,(boleh dibayangkan kalau tega) jadi kami semua tidur dengan duduk dan berlipat lipat.

Pagi harinya anak-anak yang lain naik kembali ke puncak untuk memburu matahari terbit atawa sunrise, saya yang sempat dibangunkan, terinjak, tersepak dan akhirnya ditinggalkan untuk dengan bahagia tidur sambil meluruskan punggung saya,

"akhirnya....."

Setelah saya bangun yang benar-benar bangun saya melihat-lihat sekitar, eh ternyata kok jalan setapak yang menuju puncak itu cukup dekat juga. Pas saya mau ikut-ikut naik ke puncak lagi ,malah mereka turun, ya akhirnya nggak jadi, lagipula sunrise sudah lewat. Selain packing barang-barang kami sendiri kami juga bantu-bantu mereka packing, kemudian foto bareng, salam-salaman, nggak lupa ngomong terima kasih dan pamit kemudian kembali turun. Pulang.

Perjalanan pulang kami berlangsung cukup cepat, bahkan kami sempat bakar-bakar ketela yang kami temukan di sebuah pondokan nyaris-semi permanen, disitu juga kami mengisi air di sebuah ceruk diantara bebatuan tebing. Seingat kami, maksudnya saya, Dibyo dan Uu' tidak pernah cerita bahwa didalam ceruk itu ada seekor ular yang mati, selain nggak penting, toh juga nggak ada yang keracunan ^_^. Tidak banyak yang istimewa dalam perjalanan pulang kami kecuali beberapa kali jatuh, menggelinding, foto-foto bareng, yah begitulah, sekitar ashar kami tiba kembali di desa Wonosari. Setelah sholat dan beristirahat kami mulai berjalan menuju Lawang setelah sebelumnya mengisi buku laporan pendakian untuk konfirmasi bahwa kami telah meninggalkan area Gunung Arjuna. Rencananya setelah sampai Lawang kami akan menuju ke kos mas Bibit. Ternyata di tengah perjalanan kami sudah bertemu dengan mas Bibit, dan kembali dengan bergantian kami berboncengan dengan motor menuju ke Lawang dan langsung menuju ke kos mas Bibit.

Malamnya kami beres-beres carier, mencuci sleeping bag, matras rantang dll dsb... malamnya kegiatan persiapan untuk pulang besok pagi, ngobrol, makan, dan tidur. Besoknya kami pulang dengan bus dari Malang turun di Kertosono (kalo ga salah) ganti bis lagi ke Madiun, sampai terminal, telpon mas saya minta dijemput. Setelah sampai dirumah, saya kembali bertugas untuk memulangkan para cewek, Ayu saya antar pulang, saya pamitkan ke bapaknya, eh dia malah langsung mandi (kayaknya sih takut dimarahi), Arin saya antar pulang, bapaknya heran soalnya dikira dia ke malang bukan buat naik gunung, Tere, Anie dan Meira saya antar pulang tanpa masalah. Dibyo dan Uu' memilih untuk menginap dirumah saya dan baru pulang keesokan paginya, yang seorang lagi langsung pulang dengan dijemput ibunya.

Dan berakhirlah perjalanan kali ini.

Ahhhh.....setelah menulis posting ini kok saya jadi pengen naik gunung lagi ya....

1 comment:

  1. Mau donk Info tentang gunung arjuno!!!

    Vegetasinya kayak gimana? Jalurnya ada berapa yang baru?

    Terus perizinannya ke mana aja?
    abis itu logistik yang perlu dibawa apaan aja?

    Tengs...

    ReplyDelete