12 October 2006

Puasa dan penderitaan

Sewaktu saya masih di sekolah dasar saya ingat bahwa para guru sering berkata bahwa kita berpuasa selain untuk beribadah juga supaya kita bisa ikut merasakan apa yang dialami oleh orang-orang yang tidak mampu, penderitaan kaum fakir dan miskin dalam menahan lapar dan dahaga. Pada waktu itu semua anak ya cuma bisa manggut-manggut, mereka yang kebanyakan berasal dari keluarga menengah keatas (saya termasuk menengah kesamping) merasa bahwa dengan berpuasa mereka bisa sama menderitanya atau setidaknya ikut merasakan laparnya mereka yang kurang mampu.

Beberapa waktu yang lalu di salah satu televisi hal ini dibahas kembali, bahwa puasa sebagai sebuah upaya untuk ikut berempati dalam merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Yang saya lihat, para bapak-bapak yang berbaju koko, kelimis dan tampak gagah itu manggut-manggut, sedang para ibu-ibunya yang cantik dan tampak anggun dibalut jilbab yang berwarna putih-putih ikut manggut-manggut juga.

Saya yang mendengarkan melalui televisi ingin ikut manggut-manggut juga, tapi kemudian saya tunda acara manggut-manggut itu karena muncul pertanyaan-pertanyaan di kepala saya. Apa betul begitu ya? Apakah saya (dan mereka yang di televisi itu) bisa ikut merasakan, apakah kita bisa mengalami perasaan yang sama untuk kemudian berempati terhadap para kaum fakir dan miskin. Pertanyaan ini muncul karena saya, dan mungkin juga anda, berpuasa dari pagi hingga ke sore hari dimana terdapat batas waktu yang menandakan dimulai dan diakhirinya puasa kita, sehingga kita tahu kapan lapar dan dahaga kita berakhir. Ketika maghrib menjelang kita mungkin sudah tahu dengan apa kita akan berbuka, atau bahkan mungkin sejak siang kita seudah menyiapkan berbagai penganan untuk berbuka (seringkali bahkan sedikit berlebihan).

Sementara itu mereka yang tak seberuntung kita mungkin harus berpuasa tanpa tahu kapan bisa berbuka, tanpa tahu dengan apa mereka akan berbuka, dan entah sampai kapan mereka masih bisa menahan lapar dan haus mereka. Saya jadi ingat pada sebuah cerita tentang seorang tukang becak di bulan puasa, beginilah ceritanya:


Siang hari itu saya baru pulang dari sebuah kegiatan di kampus saya, meski telah lewat dari tengah hari mentari masih cukup terik untuk membuat saya lebih memilih naik becak daripada jalan kaki. Setelah memberitahu alamat dan tawar menawar harga saya segera naik, pikiran saya langsung melayang pada menu berbuka nanti sore, seingat saya tadi pagi ibu bilang mau membuat es buah untuk berbuka, (pasti seger banget) apa lagi ditambah dengan rendang yang akan kami santap sepulang tarawih. tiba-tiba lamunan saya terganggu, ada bau pisang goreng menusuk-nusuk hidung saya, ternyata si bapak penarik becak sedang makan pisang goreng dengan lahapnya. Setelah habis satu buah diambilnya sebuah lagi dari tas kresek hitam yang tergantung di becaknya.

Melihat hal tersebut langsung saja alis saya berkerut, dalam hati saya menggerutu "Memangnya tukang becak ini nggak tahu apa kalau sekarang sedang puasa". Mulanya saya tanya baik-baik " Pak, bapak tahu kalau ini bulan puasa pak?" "Ya tahu" sahutnya sambil tetap mengunyah pisang gorengnya, terang saja saya jadi jengkel "Bapak nggak puasa ya?, kalau nggak puasa jangan makan siang-siang gini pak" Eh dia malah tersenyum. Kemudian setelah dia menelan kunyahan terakhirnya, dia ganti bertanya "Kamu puasa?" "Ya iyalah pak" jawab saya ketus, tapi rupanya dia tidak terlalu memppedulikan keketusan saya. Dengan entengnya dia bilang "Saya juga puasa dik" hampir saja saya membuka mulut untuk menyanggah "Puasa kok makan, siang-siang lagi", dilanjutkanlah kata-katanya "...tapi agak beda sama adik, kalau adik pagi sahur dan sorenya buka, kalau saya nggak tahu kapan bukanya" sambil mengelap mulut dengan handuk kumalnya diteruskan ceritanya "Pisang goreng tadi itu makanan pertama saya dari dua hari kemarin" dengan setengah tidak percaya dan malu saya langsung tertunduk. "Saya tiap hari puasa dik, kalau pas ada duit buat beli makan ya buka, kalau nggak ya puasa terus" hingga akhirnya ketika tiba di depan rumah saya membayar dengan duit lebih "Kembaliannya buat beli makan aja pak" kata saya. "Makasih ya dik" jawabnya sambil berlalu, dan saya masih malu, bukan hanya karena telah sok menggurui tentang puasa tapi juga saya cuma bisa memberi sedikit uang atas pelajaran yang saya terima siang ini.


Dari cerita tadi mungkin kita bisa sedikit melihat pada diri kita sudah seberapa besar hikmah yang kita dapat dari puasa. Apakah puasa telah membuat kita bisa berempati? Berempati secara bahasa berarti 'Suatu keadaan mental yang membuat seseorang merasa dirinya dalam keadaan perasaan yang sama dengan orang atau kelompok lain' atau secara lebih mudahnya apakah kita sudah bisa ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Puasa selain mengajarkan tentang beratnya menahan lapar dan dahaga juga mengajarkan kita kebahagiaan ketika berbuka. Setelah beberapa waktu merasakan lapar dan dahaga, makanan dan minuman yang masuk keperut kita menjadi sebuah kenikmatan yang istimewa. Jadi mari kita bertanya apakah cukup dengan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung ataukah kita mau berbuat sesuatu agar merekalah yang bisa ikut merasakan kebahagiaan yang kita rasakan.

No comments:

Post a Comment