24 January 2007

Aku Bersama Sepeda Motorku

Sepeda motor dalam hidup saya punya kedudukan yang hampir sama dengan buku, maksudnya keduanya sama-sama sulit dipisahkan dari keseharian saya. Tunggangan pertama saya adalah Yamaha Alfa keluaran tahun 1989, motor ini merupakan motor yang diturunkan dari kakak-kakak saya.

-Kenapa merk motornya Yamaha?-
~Karena ini motor buatan Jepang, kalau buatan Arab namanya YaMahmud'~

Motor berkapasitas sekitar 100cc ini masih cukup handal untuk dipacu hingga 100km/jam, yah berhubung pada waktu itu tidak banyak motor dengan cc gede jadi kecepatan itu cukup keren ^_^ Yah, harap maklum karena masih pemula dan ABG jadi ya masih doyan kebut-kebutan, masih doyan belok dengan kecepatan tinggi sambil memiringkan motor. Alhamdulilah meski gaya berkendara saya yang cukup norak waktu itu, saya tidak pernah jatuh atau nabrak (ralat:pernah satu kali nabrak dan jatuh waktu belajar motor).

Waktu itu motor buat saya cuma berfungsi sebagai alat transportasi, sarana jalan-jalan dan sarana ngebut. Les, main, kadang ke sekolah ketika ada kegiatan di sore hari atausedang ada latihan drum band, nonton film, ke ding-dong, dan kegiatan lain yang juga disekitar situ-situ saja.

Ketika masuk SMA, gaya berkendara saya mulai berubah, meski masih sering kebut-kebutan tapi saya mulai senang berkendara untuk menempuh jarak yang lebih jauh. Alasannya selain karena mulai senang avonturir juga karena saya sudah punya SIM (Sempat tes juga lo, meski ga lulus dan akhirnya nembak juga) ditambah lagi setelah pertengahan kelas satu SMA saya mulai ikut eskul pecinta alam Bramastya. Sebenarnya buka masalah PA nya tapi karena di Bram's inilah saya ketemu orang-orang yang juga hobi berkendara, alasan lain adalah karena hampir sebagian besar anggota cewek di angkatan kita bertempat tinggal di luar kota (kabupaten maksudnya) maka seringkali kita seangkatan bermotor bareng buat nganterin mereka, seringkali ketika hari sudah menjelang pagi (jam 23.45) atau bahkan sepulang dari survey di pagi hari (03.00).
Berkendara bareng-bareng begini memang menyenangkan, dan kita juga selalu ingat buat nggak belagu dan merasa jadi penguasa jalanan, yahh... kecuali pas jam 3 pagi dan jalanan sepiiii... banget ^_^ namanya juga masih muda hehe. Berkendara tengah malam juga nggak lepas dari resiko, meski jalanan sepi dari kendaraan bermotor gangguan masih bisa saja muncul, mulai dari orang mabuk hingga operasi penertiban bencong. OK CUKUP! jangan tanya apa hubungannya.

SMA kelas 1 adalah masa dimana saya yang tidak punya pengalaman otomotif (kecuali cara mengganti busi) nekat melakukan perjalanan menuju ke pantai utara pulau jawa bagian timur, untuk lengkapnya bisa dibaca disini :
  • dan ini:


  • Setelah itu pun saya masih sering berkendara, meski tidak lagi sejauh itu, Jogja adalah salah satu kota favorit saya. Meski seringkali cuma melintas di kotanya, mampir di angkringan atau Gramedia, mengisi bensin, dan kemudian mampir ngopi di warung-warung antara Solo dan Ngawi, dan kemudian pulang melintasi kawasan hutan Mantingan. Satu hal yang hampir pasti adalah kami selalu melewati hutan ini setelah pukul 10 malam. Hal ini jelas sangat tidak baik untuk kesehatan, bukan karena udara malam yang dingin dan lembab tapi lebih dikarenakan kondisi hutan yang cukup menyeremkan, tapi lebaran 2 tahun yang lalu daerah ini sudah cukup banyak penerangan kok.

    Acara berkendara keluar kota ini mulai berkurang ketika di kelas 3 SMA, hingga kemudian saya menginjakkan kaki di kota Bandung ini. Masih dengan Yamaha Alfa tercinta yang saya kirimkan dengan kereta api. Saya menyusuri, melintasi dan tersesat di kota ini. Tidak jarang bahkan kebersamaan kami diisi dengan kegiatan mendorong, menggelinding, pokoknya aktifitas yang cukup mengundang keringat, maklum motor ini seringkali mati bila hujan cukup deras.

    Kebersamaan kami masih berlanjut hingga beberapa tahun kemudian motor ini mulai semakin melemah, meski masih cukup kuat dipacu dengan kecepatan alakadarnya, borosnya bensin dan mahalnya biaya perawatan membuat kami terpaksa berpisah. Cukup banyak teman yang menganjurkan agar motor ini tidak dijual tapi dimuseumkan ~_~; tapi karena ini sudah diluar wewenang saya maka akhirnya motor ini (bisa) dijual juga.

    Setelah beberapa saat melewatkan hari dengan supir angkot, eh dengan naik angkot maksudnya, akhirnya datanglah sebuah motor baru ^_^ Honda GL-MAX,125 cc. Bersama motor inilah saya beberapa kali mudik lebaran ke Madiun dengan berkendara, juga ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. Meski cc-nya tergolong kecil untuk ukuran motor masa kini tapi ini sudah mencukupi buat saya, dan saya juga tidak terlalu tertarik untuk menggunakan motor dengan cc 200 keatas karena menurut saya mubazir.

    Omong-omong soal motor gede

    Saya lebih sering sebal daripada kagum pada para pengguna motor gede, mulai dari Harley, BMW, atau juga yang sok gede macam Tiger atau Thunder dll, dsb...
    Saya sebal bukan pada motornya, tapi pada para pengendaranya, apalagi kalau mereka sedang berkonvoi bareng-bareng, mulai dari bikin macet, menuh-menuhin jalan, hingga membahayakan pengguna jalan lain, dan tidak ditindak polisi pula!?! akhirnya mereka benar-benar bertingkah bak raja jalanan. Padahal mereka itu berlalu lalang di jalan-jalan kota yang seringkali penuh oleh kendaraan lain, tapi apa mau dikata meski bukan kita yang salah toh kita juga yang harus kalah. Kenapa sih mereka harus diistimewakan? Mereka kan bukan ambulance, pemadam kebakaran atau kereta api? Lantas kenapa mereka tidak bertindak seperti pengguna jalan yang normal, apakah karena mereka kaya (lagi-lagi status sosial yang jadi alasan) sehingga bisa mendapat perlakuan khusus? Yup, mungkin kita sama-sama tahu jawabnya.

    It's need more than machine to become a rider
    ~butuh lebih dari sekedar mesin untuk menjadi seorang pengendara~

    No comments:

    Post a Comment