06 July 2006

Seandainya Kita Tidak Punya Kegagalan

Wah akhir-akhir ini perhelatan piala dunia udah makin seru, sudah tinggal perebutan posisi puncak. Jadi meski baru serius nonton pas babak perdelapan besar saya ikut menikmati piala dunia kali ini, selain menikmati permainan bolanya ada beberapa hal lain yang juga saya nikmati pada setiap pertandingan. Salah satu yang paling saya sukai adalah pada saat pertandingan telah usai. Lho???


Yup, buat saya adegan - adegan setelah pertandingan selalu asyik untuk disaksikan. Bagi sebagian orang mungkin hanya pertandingannya itu sendiri yang penting, tapi bagi saya yang setelah itupun nggak kalah seru. Menyaksikan bagaimana mereka merayakan kegembiraan, saling menepuk punggung rekan satu tim, melambaikan tangan kepada para penggemarnya dan yang tidak kalah seru, menyaksikan yang kalah. Ada yang menangis, terduduk diam, saling menghibur antar teman dan berbagai ekspresi lain.

Kemudian saya ingat sebuah artikel yang pernah saya comot dan dimodifikasi untuk dimuat di majalah sekolah SMU dulu, dan saya jadi ingin membagi isi artikel ini untuk anda semua


Seandainya Kita Tidak Punya :

KEGAGALAN

Kayaknya asyik ya ? Sukses melulu, Nilai ulangan dan rapor gak pernah merah, naik kelas terus, ortu memuja muji, dapat hadiah lagi.

Wah, luar biasa! Tapi apa betul begitu? Apa betul kita tidak pernah mengalami kegagalan?

Dari bayi kita sebenarnya udah sering “gagal” gak semua rengekan kita diiyakan oleh ortu. Pergi ke toko tidak semua mainan yang kita mau begitu saja dibelikan oleh ortu. Minta jajan apalagi. Sering kali ortu melakukan hak veto. Nggak pakai penjelasan lagi. No ! Titik ! Nangislah sampai air matamu kering dan mereka tidak bergeming. Begitu juga ketika kamu pengen menjajal sepeda motor atau malah minta dibelikan mesin ngebut ini. Ini bukan sekedar urusan duit dan tebalnya kantong ortu. Banyak lagi soal yang membuat mereka tidak gampang menyenangkan anak – anak yang dicintainya. Inilah rentetan kegagalan yang sebetulnya berkesinambungan sampai kamu dewasa dan tua nanti. Inilah yang memang seharusnya dirasakan, dinikmati. Lho kok dinikmati ?

Cobalah tonton jagoan bulutangkis, tenis atau sepakbola dunia selesai bertanding. Yang pasti terjadi, mereka, kalah atau menang, menyalami lawan. Dengan gagah, dengan tersenyum, pakai tepuk–tepuk pundak atau mengelus kepala lawan segala. Padahal lawan ini yang telah membuatnya gagal jadi juara. Tapi mereka tetap tegak. Kepada pers, mereka tidak malu–malu memuji kehebatan lawan. Inilah orang yang di jaman dahulu kala disebut kesatria. Jagoan sejati. Gagal tidak membuat mereka berkecil hati. Tidak menjadikan mereka seperti bocah ingusan yang bisanya cuma menjelek-jelekkan lawan. Tidak membuat mereka mengerdilkan musuh, yang malah berakibat mereka jadi kerdil sendiri. Itulah makna kegagalan, itulah kenikmatan kegagalan. Kalah dalam serangkaian pertandingan akbar, bukan alasan buat seorang atlet mencucurkan air mata seperti kamu yang masih ingusan, tapi mengamati kehebatan dan kelemahan lawan. Kemudian merebut gelar juara setelah menikmati kegagalannnya. Dan kalau semua penonton bertepuk tangan, semuanya lebih kepada kehebatannya membuat kegagalan menjadi suatu berkah bagi perbaikan dirinya. Itulah sikap anak yang sudah tidak ingusan lagi. Itulah sikap novelis besar Ernest Hemingway dalam berkarya. “ Kalau kamu gagal, menulislah, dan menulis lagi sampai kamu tidak gagal. Alangkah nikmatnya orang yang menang setelah gagal. Dan alangkah sepinya hidup manusia yang tenggelam karena gagal atau mengapung karena semua keinginannya terpenuhi. Ia sudah tidak tahu lagi kenikmatan jiwa

Jangan takut gagal

No comments:

Post a Comment